Media Berkemajuan

27 Juli 2024, 11:46

Benarkah Utang RI Capai Rp17.500 Triliun? Yustinus Prastowo Buka Suara

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram
Print
Foto: Okezone economy

Jakarta, mu4.co.id – Yustinus Prastowo juru bicara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) buka suara perihal berita yang tengah ramai diperbincangkan bahwa utang negara mencapai Rp17.500 Triliun.

Melalui akun twitternya @prastow membantah informasi yang beredar tersebut. Ia menyebut informasi itu bombastis dan menyesatkan.

Komposisi Utang. (Foto: Twitter/@pratow)

“Faktanya, jumlah utang pemerintah tidak sebesar itu. Pun masih sesuai dan patuh pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta dikelola dengan baik. Saya bahas dalam #utas #utang #APBN.” ungkapnya melalui twitter pada Kamis (11/5).

Prastowo menerangkan, “Berdasarkan data dari publikasi APBN KiTa pada April 2023, posisi utang pemerintah per 31 Maret 2023 adalah Rp7.879,07 triliun. Tentu kita berpijak pada data resmi yg konsisten dipakai tahun ke tahun, rezim ke rezim,”

Lebih lanjut prastowo mengatakan utang pemerintah memiliki indikator yang jelas. Salah satunya adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB yang besarnya 39,17%.

“Jauh di bawah batas yang diperkenankan dalam Undang-undang sebesar 60%. Sehingga tidak benar jika dikatakan utang pemerintah lebih dari 100% PDB,” ungkapnya.

Dikutip dari apahabar.com Prastowo juga menjelaskan tentang kewajiban kontinjensi dalam thread twitternya. Menurutnya kriteria terkait kewajiban itu harus diluruskan agar tidak mengecoh dan menyesatkan publik.

“Kewajiban kontinjensi adalah kewajiban potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu atau lebih peristiwa pada masa datang yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah,” paparnya.

Kewajiban kontinjensi ini tidak disajikan di neraca pemerintah, namun cukup diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan untuk setiap kontinjensi pada akhir pelaporan. Hal ini dikarenakan kewajibannya baru bersifat potensi, belum tentu akan terjadi atau terealisasi.

Prastowo menjelaskan dalam laporan keuangan pemerintah pusat, utang BUMN tidak masuk dalam kategori kewajiban kontinjensi. Entitas lain seperti BUMN, Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN BH), Pemda, dan BUMD juga tidak termasuk dalam cakupan LKPP.

Khusus terkait BUMN, terang Prastowo, merupakan kekayaan negara yang dipisahkan menurut UU Keuangan Negara. Utang BUMN tentu menjadi kewajiban BUMN, bukan kewajiban pemerintah pusat, termasuk untuk pembayaran pokok utang dan bunganya.

“Utang BUMN baru dianggap sebagai kewajiban kontinjensi Pemerintah, jika utang ini mendapatkan jaminan oleh Pemerintah,” jelasnya.

Kewajiban kontinjensi tidak serta merta menjadi utang pemerintah sepanjang mitigasi risiko default/gagal bayar dijalankan (berdasarkan history, hingga saat ini zero default atas jaminan pemerintah).

Di sisi lain, keuntungan BUMN tidak serta merta menjadi penerimaan pemerintah. Hanya jika BUMN membayarkan dividen sejumlah tertentu, maka penerimaan dividen ini diakui sebagai pendapatan (PNBP) oleh pemerintah.

Selain itu, persoalan kewajiban pembayaran uang pensiun oleh pemerintah, dapat dijelaskan bahwa pemberian manfaat pensiun dilakukan setiap bulan sebagai wujud penghargaan dan komitmen pemerintah kepada para pensiunan ASN/TNI/Polri atas dedikasi dan pengabdian selama bekerja.

Pemerintah terus berupaya memperbaiki sistem pengelolaan pensiun agar lebih baik dan memberikan manfaat yang optimal. “Tata kelola program pensiun yang baru akan memperhatikan pembagian tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara adil dan akuntabel,” ujarnya.

Terkait tata kelola utang Kemenkeu menyebutkan, pemerintah senantiasa mengelola utang secara hati-hati dengan risiko yang terkendali melalui komposisi optimal, baik mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo.

Sumber: apahabar.com money.kompas.com

[post-views]
Selaras