Bangladesh, mu4.co.id – Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, berhenti dari jabatannya setelah serangkaian demonstrasi mematikan dalam beberapa pekan terakhir.
Setelah 15 tahun menjabat, Hasina (76) tahun mengundurkan diri dari Perdana Menteri. Sejak 2009, ia telah memimpin negara Asia Selatan dengan populasi 170 juta orang itu secara otoriter.
Pemerintahan Hasina dinilai menghambat kebebasan berpendapat, termasuk tokoh politik seperti Zia.
Bahkan, aparat keamanan telah mengeksekusi lima pemimpin agama dan seorang tokoh oposisi senior dengan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dari perang kemerdekaan 1971, yang memicu protes dan bentrokan.
Menjelang pemilu Januari 2024, Hasina menangkap ribuan simpatisan partai oposisi terkait kebijakan kuota pekerjaan. Laporan menunjukkan adanya sekitar 600 kasus penghilangan paksa dan banyak pembunuhan di luar hukum sejak 2009.
Baca Juga: Longsor India Kubur Ratusan Orang Saat Terlelap, Ini Kesaksian Korban Selamat!
Sejak sebulan lalu, gelombang demonstrasi yang menuntut pengunduran diri Sheikh Hasina tampaknya tidak terbayangkan. Namun, pada Senin (05/08), posisi Hasina berada dalam bahaya.
Beberapa hari setelah pengadilan tinggi membatalkan kuota pekerjaan yang memicu protes awal Juli, kerusuhan terus berlanjut dan berubah menjadi gerakan anti-pemerintah yang menginginkan Hasina turun dari kekuasaan.
Bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi pada Ahad (04/08), yang menewaskan puluhan orang, menjadi titik penentu. Dilansir dari detik jabar pada Rabu (7/8), sekitar 300 orang diperkirakan tewas dalam demonstrasi hingga saat ini. Ini merupakan jumlah korban terbanyak dalam sejarah protes Bangladesh baru-baru ini.
Para kritikus menyebut situasi tersebut sebagai “pembantaian”, meski Hasina tetap bertahan pada pendiriannya. Namun, pada Senin (05/08), puluhan ribu orang turun ke jalan, banyak di antaranya menuju ibu kota Dhaka dan melanggar jam malam nasional.
Tampaknya warga Bangladesh sudah tidak lagi takut terhadap peluru. Apa yang dulunya merupakan gerakan politik kini telah berubah menjadi pemberontakan massal. Keputusan Hasina untuk melarikan diri juga didorong oleh tekanan dari militer yang mendesaknya untuk mundur.
(detik jabar, Kompas)