Palembang, mu4.co.id – Nafisah Ahmad Zen Shahab adalah seorang ibu hebat pedagang batik di Palembang Sumatera Selatan, lulusan SMA yang berjuang tanpa pamrih berhasil membesarkan 12 anak.
Nafisah bukan berasal dari keluarga kaya. Tanpa fasilitas mewah, ia tidak sekadar memperjuangkan kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk masa depan anak-anaknya, diiringi dengan ketekunan, doa, dan kerja keras yang tak pernah putus.
Hari demi hari, ia berjualan, panas, dan hujan, hingga perjuangannya tidak sia-sia, yaitu 10 dari 12 anaknya menjadi dokter hebat di Indonesia, bahkan 5 di antaranya berhasil meraih gelar sebagai dokter spesialis di bidang kardiovaskular, penyakit dalam, anak, urologi, ortopedi, serta kulit dan kelamin.
Anak sulungnya juga berhasil mencapai gelar profesor, yakni Prof. Dr. dr. Idrus Alwi Sp.PD, K-KV. FACC, FESC, FAPSIC, FINASIM. Anak lainnya, yakni dr. Muhammad Syafiq, Sp.PD-KGH; dr. Suraiyah Sp.A(K); dr Nouval Shahab Sp. U, Ph.D, FICS, FACS; dr Isa An Nagib Sp. OT (K); dr. Zen Firman Sp.OT, M Biomed; dan dr. Nur Dalilah Sp.KK. Selain itu, drg. Farida Alwi; dr. Shahabiyah MMR, dan dr. Fatinah. Dua anak lainnya, lulus teknik kimia dan bekerja sebagai PNS di Depok serta seorang lagi berkarier sebagai desainer interior.

Baca juga: Kisah Seorang Pedagang Sate Yang Berhasil Naik Haji Usai Menabung 55 tahun
Nafisah menyebut alasan banyak anaknya yang kuliah kedokteran karena termotivasi oleh anak tertuanya, Idrus Alwi. “Yang paling tua masuk (kedokteran), jalani dan adik nanya enak enggak, katanya biasa aja, jadi (ikut) masuk (kuliah kedokteran),” kata ibu yang kini berusia 78 itu, dikutip dari haibunda.com, Jumat (09/05/2025).
Nafisah pun menjelaskan keberhasilannya dalam mendidik anak-anaknya dengan menggunakan cara sederhana. Ia mengakui tidak pernah menggunakan cara yang kasar dalam mendidik dan membesarkan 12 buah hatinya.
“Saya enggak pernah mukul, bicara dengan lemah lembut supaya masuk, enggak pernah keras. Kata orang kalau dikerasin, (anak) akan lebih keras. Kasih sayang juga sama, enggak boleh pilih kasih. Sayang semuanya,”
Selain itu, ia juga disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Anak ke sekolah saat pagi hari, sementara siangnya saat pulang sekolah, mereka beristirat dan main. Sebelum pukul 17.00 atau ketika ayah mereka belum pulang, semua anak-anaknya harus berada di rumah. Saat azan magrib, televisi harus dimatikan karena mereka semua menjalankan ibadah salat. “Setelah salat, ngaji. Setelah itu, belajar,” ujarnya.
Namun saat beberapa anaknya masih duduk di bangku kuliah, suami Nafisah meninggal dunia pada tahun 1996. Sejak saat itulah, ia berjuang sebagai ibu tunggal untuk membesarkan anak-anaknya sambil meneruskan bisnis suaminya sebagai pedagang batik. Sementara soal biaya pendidikan tidak begitu membebani karena anak-anaknya masuk universitas negeri. Selain itu, mereka juga bisa berhemat membeli buku lantaran sebagian besar sekolah kedokteran, sehingga kerap berbagi buku pelajaran.
Meski ditinggal sang ayah, semangat dan perjuangan mereka untuk sekolah tidak pernah berhenti. Selain Nafisah, anak sulungnya, yakni Idrus Alwi memiliki peran penting dalam kesuksesan adik-adiknya. “Tidak terlepas dari figur kakak paling tua. Dia selalu mengayomi kami untuk selalu semangat untuk mencari ilmu,” kata dr. Isa, salah satu anak Nafisah.
Keluarga besar ini juga memiliki satu kunci dalam menghadapi masa-masa. dr. Isa menyebut saat tengah merasa down di masa perkuliahan, mereka akan selalu mendapat dukungan dan penyemangat dari saudara-saudaranya. “Kakak-kakak selalu support untuk tetap semangat. Kami beruntung karena dikawal oleh kakak-kakak yang baik,” ujarnya.
Atas dedikasi dan keberhasilannya, Nafisah pun menerima rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) pada Februari 2010 sebagai keluarga dengan jumlah profesi dokter terbanyak dalam keluarga di Indonesia.

Kisahnya itupun sempat diceritakannya dalam tayangan Hitam Putih, Trans 7 beberapa tahun sebelumnya.