Media Berkemajuan

8 Oktober 2024, 01:21

Tajikistan, Negara Mayoritas Muslim yang Larang Hijab. Kenapa?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram
Print
Sosok presiden seumur hidup Tajikistan, Emomali Rahmon, menjadi sorotan usai negara Asia Tengah itu mengesahkan RUU larangan penggunaan hijab pekan lalu. [Foto: CNN]
Sosok presiden seumur hidup Tajikistan, Emomali Rahmon, menjadi sorotan usai negara Asia Tengah itu mengesahkan RUU larangan penggunaan hijab pekan lalu. [Foto: CNN]

Tajikistan, mu4.co.id – Tajikistan merupakan negara dengan mayoritas 96% beragama Muslim. Namun Majelis tinggi parlemen negeri telah mengumumkan undang-undang kontroversial.

Di bawah pimpinan Rustam Emomali, pekan lalu negeri itu resmi meloloskan undang-undang yang melarang “pakaian asing”. Tajikistan melarang jilbab dan pakaian tradisional Islam lain yang masuk ke Tajikistan dari Timur Tengah.

Dilansir dari CNBC pada Jum’at (28/6), pelanggaran undang-undang yang melanggar pakaian asing, termasuk jilbab dan pakaian tradisional Islam, berpotensi didenda mulai dari 7.920 somoni (sekitar Rp12.1 juta) untuk warga biasa hingga 54.000 somoni (sekitar Rp82.9 juta) untuk pejabat pemerintah.

Khusus tokoh agama, dapat didenda 57.600 somoni (sekitar Rp88.4 juta). Undang-undang ini juga melarang perayaan Idul Fitri dan Idul Adha untuk anak-anak. Undang-undang ini telah disahkan pada awal bulan Juni.

Sebelumnya, negara ini memiliki tradisi “iydgardak,” di mana anak-anak mendatangi rumah ke rumah untuk mengumpulkan uang saku pada hari raya Idul Fitri.

Pemerintah menjelaskan bahwa langkah ini dimaksudkan untuk “melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul dan ekstremisme”. Terkait jilbab, misalnya, warga tidak diizinkan mengimpor, menjual, mengenakan, atau mengiklankannya, serta didorong untuk mengenakan pakaian tradisional Tajikistan.

Namun, larangan terhadap jilbab di Tajikistan juga mencerminkan arah politik yang diambil oleh pemerintahan presiden seumur hidup Emomali Rahmon, yang berkuasa sejak tahun 1997.

Awalnya, larangan ini juga merupakan upaya untuk menghilangkan oposisi dari Partai Kebangkitan Islam Tajikistan (TIRP). Setelah perjanjian damai pada tahun 1997 mengakhiri perang saudara lima tahun, Presiden Rahmon, yang berkuasa sejak 1994, berdamai dengan TIRP.

Baca Juga: Pertama Kali! NASA Bikinkan Hijab Khusus Astronaut Muslimah

Menurut perjanjian tersebut, TIRP yang pro syariah seharusnya mendapatkan 30% kekuasaan dalam pemerintahan. Namun, Rahmon secara perlahan mengurangi pengaruh mereka, dan pada tahun 2015, ia menutup TIRP secara keseluruhan dan menyatakannya sebagai organisasi teroris.

Label organisasi teroris diberikan setelah TIRP diduga terlibat dalam upaya kudeta yang gagal, yang menyebabkan kematian Jenderal Abdulhalim Nazarzoda, seorang pejabat utama pemerintah.

Sebelumnya, Jilbab telah dilarang sejak tahun 2009 di Tajikistan, di mana tutup kepala tidak diizinkan di lembaga publik, termasuk universitas dan gedung pemerintah.

Rezim Rahmon juga telah mendorong berbagai aturan, baik formal maupun informal, untuk menghambat pengaruh negara-negara tetangga sambil memperkuat kendalinya atas Tajikistan.

Undang-undang tentang Tanggung Jawab Orang Tua yang mulai berlaku pada tahun 2011 mengenakan hukuman kepada orang tua yang mengirimkan anak-anak mereka ke luar negeri untuk pendidikan agama. Menurut undang-undang yang sama, anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun tidak diizinkan memasuki tempat ibadah seperti masjid tanpa izin.

Pada tahun 2017, Komite Urusan Agama Tajikistan melaporkan bahwa 1.938 masjid telah ditutup dalam satu tahun. Tempat-tempat ibadah tersebut kemudian diubah menjadi kedai teh dan pusat medis.

Sebenarnya hal serupa tak hanya di Tajikistan. Prancis, Denmark, Belgia, Sri Lanka, Bulgaria, China, India, Jerman, dan Turki juga telah melarang jilbab dalam beberapa bentuk.

(CNBC)

[post-views]
Selaras