Makkah, mu4.co.id – Anggota Tim pengawas (Timwas) Haji DPR RI, Selly Andriany Gantina, menyoroti persoalan transportasi jemaah Indonesia saat fase puncak haji 1446 H/2025 M. Ia menilai kekacauan di jalur Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab PPIH Indonesia.
“Saya pertama menyampaikan turut prihatin dengan apa yang menimpa para jemaah haji reguler kita. Tentu saja ini harus menjadi evaluasi kepada Kementerian Agama selaku penyelenggara ibadah haji tahun 2025,” ungkap Selly di Mina, Makkah, dikutip dari Kompas, Senin (9/6).
Menurutnya, masalah utama terletak pada lemahnya koordinasi antar-syarikah, perusahaan transportasi lokal Arab Saudi, yang seharusnya menjamin kelancaran mobilisasi jemaah.
“Banyak jemaah telantar karena tidak terkoordinasi dengan baik antara satu syarikat dengan syarikat lainnya. Bahkan ada syarikat yang mogok dan tidak mau lagi mengangkut jemaah dari Muzdalifah ke Mina,” ujarnya.
Baca Juga: Minimnya Armada Transportasi, Ribuan Jemaah Haji Jalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina!
Masalah makin rumit saat program tanazul bagi 37.000 jemaah dibatalkan sepihak. Program ini harusnya memungkinkan mereka langsung kembali ke hotel setelah jumrah Aqabah.
Karena hal ini, akibatnya jemaah menumpuk di Mina, kekurangan tenda, logistik terbatas, dan sebagian terpaksa berjalan kaki 5–15 km dari Muzdalifah ke Mina. Bahkan, ada yang tersesat hingga kembali ke Arafah tanpa bantuan.
“Yang paling mengerikan, saat mabit di Muzdalifah mereka harus kembali ke Arafah tanpa transportasi. Para jemaah harus berjalan kaki, bahkan ada yang sampai tersesat 15 kilometer,” kata Selly.
Baca Juga: 25 Jemaah Haji Indonesia Dirawat Setelah Gangguan Tulang dan Sendi, Ini Saran Dokter!
Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa tanggung jawab tidak sepenuhnya ada pada PPIH Indonesia.
Ia menyoroti peran otoritas Arab Saudi yang harus ikut bertanggung jawab, karena pengelolaan transportasi dan penunjukan syarikah berada di bawah kewenangan mereka.
“Catatan kami, bukan hanya PPIH yang harus bertanggung jawab, tetapi juga pihak Saudi Arabia harus bisa mempertanggungjawabkan itu kepada pemerintah Indonesia. Karena kesepakatan yang dibuat diketahui oleh pemerintah Saudi,” tegasnya.
Selly berharap kekacauan ini menjadi evaluasi penting menjelang transisi penyelenggaraan haji ke Badan Penyelenggara Haji (BPH) pada 2026. Ia mendorong pemerintah Indonesia memperkuat negosiasi dan pengawasan terhadap kontraktor lokal.
(Kompas)