Yogyakarta, mu4.co.id – Sebanyak 68 alumni dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) menolak memberikan izin tambang kepada organisasi masyarakat. Mereka berpendapat bahwa tindakan tersebut dapat merusak reputasi keagamaan organisasi tersebut yang seharusnya memegang teguh nilai-nilai moral.
“Kami meminta pemerintah untuk membatalkan pemberian izin tambang pada ormas keagamaan,” ucap juru bicara warga NU, alumni UGM, Slamet Thohari dikutip dari Tempo, Senin (10/6).
Baca Juga: Ormas Keagamaan Dapat Izin Tambang UP oleh Presiden RI, Apa Saja?
Menurutnya, memberikan izin tambang berpotensi hanya menguntungkan sebagian kecil elit dan menghilangkan tradisi kritis dari organisasi masyarakat tersebut.
“Dan pada akhirnya melemahkan organisasi keagamaan sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil yang bisa mengontrol dan mengawasi pemerintah atas ongkos yang sebagian besar akan ditanggung oleh nahdliyin,” ucapnya.
Selain itu, dosen dari Universitas Brawijaya itu menyatakan bahwa warga NU alumni UGM mendesak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diajukan kepada pemerintah. Mereka mengkhawatirkan bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan NU terlibat dalam dosa sosial dan ekologis.
Selain itu, PBNU diminta untuk kembali melayani umat dengan tidak menerima konsesi tambang yang dapat membuat NU terperangkap dalam peran sebagai alat pemerintah. PBNU juga diharapkan untuk mengelola organisasi dengan lebih baik dan profesional, memanfaatkan potensi yang ada untuk mencapai kemandirian ekonomi tanpa harus terlibat dalam bisnis tambang yang dianggap sebagai warisan kesesatan historis.
Slamet juga menyatakan bahwa pihaknya menekan pemerintah untuk tetap konsisten dengan agenda transisi energi Net Zero Energy 2060, yang mencakup meninggalkan penggunaan batubara baik sebagai komoditas ekspor maupun sumber energi primer. Mereka juga menyerukan penciptaan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan energi terbarukan melalui regulasi.
Selain itu, kelompok tersebut yang terdiri dari akademisi, pengusaha, aktivis, dan lainnya, menekan pemerintah untuk mengawasi kebijakan, mengawasi, dan menegakkan hukum lingkungan terkait dengan kerusakan sosial dan ekologis. Ini mencakup tindakan seperti perampasan lahan, penggusuran, deforestasi, eksploitasi, korupsi, dan polusi yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan batubara.
(Tempo)