Media Berkemajuan

27 Juli 2024, 12:24

Tidak Ada Anak yang Bodoh, Hanya Ada Anak dengan Kecerdasan yang Berbeda-Beda

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram
Print
Ilustrasi Kedua Orang Tua Mengajari Anak [Foto: my.theasianparent.com]

Tidak beberapa lama lagi rutinitas tahunan kenaikan kelas dan bagi raport di sekolah akan dilaksanakan. Pada saat ini biasanya orang tua mulai sibuk dan peduli dengan perkembangan pendidikan anak di sekolah dan tidak sedikit di antara orang tua stress dan khawatir dengan hasil penilaian anak yang akan mereka terima. Kekhawatiran ini di antaranya disebabkan takut nilai anaknya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini merupakan suatu yang wajar, karena setiap orang tua pasti ingin anaknya memperoleh nilai yang baik.

Baca Juga: Ketua Dikdasmen PCM Banjarmasin 4: Film Buya Hamka Sangat Direkomendasikan

Jika anak memperoleh nilai yang baik, maka ketakutan tersebut akan sirna dengan sendirinya. Namun, ketika nilai anak rendah, atau tidak sesuai dengan harapan orang tua, apa yang akan terjadi? Kebanyakan dari kita tentunya pasti akan sedih dan kecewa terhadap hasil yang diperoleh anak. Bahkan ada sebagian kecil orang tua yang memarahi dan menyalahkan anaknya. Apakah ini wajar? Sebelum menjawab ini ada beberapa hal yang perlu diketahui orang tua.

  • Penilaian di Sekolah Tidak Sepenuhnya Mencerminkan Kercerdasan Anak Secara Utuh

Sudah menjadi jamak diketahui, bahwa penilaian yang selama ini dilakukan di sekolah, tidak bisa sepenuhnya bisa mencerminkan kemampuan anak secara utuh. Kebanyakan proses penilaian yang dilakukan oleh guru di sekolah lebih banyak mencerminkan kemampuan berpikir anak, meskipun pada saat ini sudah ada sekolah yang memperluas penilaiannya pada keterampilan dan sikap anak.

Baca Juga: Majelis Dikdasmen PCA Banjarmasin 4: Hubungan Orang Tua dan Anak Itu Saling Membutuhkan

Melihat fenomena ini, maka sebagai orang tua, kita harus bijak dalam melihat nilai yang didapat anak. Bisa jadi pada saat dilakukan proses penilaian ada potensi anak yang tidak tercakup dalam soal atau instrument penilaian yang diberikan, sehingga potensi tersebut tidak dapat digali dengan baik dan tidak muncul dalam hasil penilaian.

  • Kondisi Fisik dan Psikis Anak yang Dinilai

Tidak semua anak mengerjakan ujian dalam kondisi terbaik secara fisik maupun kejiwaan (psikis). Kondisi fisik dan psikis ini sangat berpengaruh terhadap anak saat mereka mengerjakan ujian ataupun saat belajar.

Contohnya: ketika anak mengerjakan ujian dalam kondisi pilek, pasti hasilnya akan berbeda dengan ketika anak mengerjakan ujian dalam kondisi sehat. Begitupula saat kondisi psikisnya terganggu, akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajarnya.

Ilustrasi Anak Belajar di Sekolah [Foto: rijal09.com]

Sebagian besar orang tua biasanya mengetahui saat anaknya mengalami sakit secara fisik, sehingga hal ini bisa diantisipasi lebih awal, misalnya dengan mengikuti ujian susulan.

Namun banyak orang tua yang tidak mengetahui bahkan abai ketika anak mengalami gangguan secara psikis, karena kondisi seperti ini terkadang tidak bisa dilihat secara kasat mata, dan secara fisik anak terlihat baik-baik saja. Padahal kondisi yang demikian akan sangat berpengharuh terhadap kemampuan anak dalam menyelesaikan tugasnya.

  • Anak Memiliki Kecerdasan yang Berbeda-Beda

Sebagai orang tua terkadang kita melihat kecerdasan anak hanya dari satu sudut pandang, parahnya lagi sudutnya itu hanya dari sudut pandang orang tua saja. Banyak yang menganggap bahwa anak yang cerdas itu adalah anak yang memperoleh rangking 1 atau anak memiliki nilai yang baik saja. Hal ini tidaklah salah, akan tetapi perlu disadari bahwa setiap anak memiliki keunikan masing-masing, termasuk keunikan dalam kecerdasannya, tidak bisa hanya diukur dari nilai yang tertulis di raport saja.

Salah satu pakar kecerdasan, Howard Gardner mengatakan bahwa kecerdasan manusia itu tidak hanya satu tetapi banyak (multiple intelligence). Saat ini, Gardner setidaknya sudah menemukan 8 kecerdasan dan menurutnya jumlah kecerdasan ini akan terus berkembang.  Karena ini beliau menyebut teorinya sebagai teori kecerdasan majemuk.

Diantara kecerdasan yang sudah ditemukan antara lain: Cerdas Gerak, Cerdas Gaul, Cerdas Bahasa, Cerdas Logika Matematika, Cerdas Alam, Cerdas Diri, Cerdas Gambar, dan Cerdas Musik (Setiap kecerdasan ini akan dibahas di tulisan berikutnya).

Ilustrasi Anak Bermain Piano [Foto: mindfulmum.co.uk via sumsel.tribunnews.com]

Masih menurut Gardner, setiap anak pada prinsipnya memiliki semua kecerdasan tersebut dan ada dua sampai tiga kecerdasan yang dominan dalam diri setiap anak. So, artinya setiap anak yang ada di sekitar kita pasti cerdas.

Namun Garner juga mengigatkan bahwa kecerdasan tersebut sifatnya tidak permanen tetapi akan berubah tergantung pada stimulasi dan dukungan dari lingkungan dan orang-orang yang ada di sekitar anak. Jika kecerdasan yang dimiliki oleh anak sesuai dengan dukungan sekitarnya, maka kecerdasan tersebut akan semakin kuat. Tetapi Ketika support lingkungan lemah, maka kecerdasan tersebut akan melemah dan berganti dengan kecerdasan lainnya.

Ilustrasi Anak Membaca Buku [Foto: savethechildren.or.id]

Nah, masihkah orang tua menganggap ada anak yang bodoh? Jangan-jangan selama ini sebagai orang tua, kita belum menemukan dan mengenal potensi kecerdasan apa yang dimiliki oleh anak, sehingga kita belum bisa melihat keunikan dan potensi luar biasa yang pasti ada dan dimiliki setiap anak. Coba ingat kembali firman Allah dalam surat Al Alaq ayat 4 yang artinya: “Sungguh, kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

Penulis: Mohammad Dani Wahyudi (Ketua Majelis Dikdasmen PCM Banjarmasin 4, Ketua Yayasan Taman Pendidikan Sakinah, Dosen FKIP ULM)

Editor: Maulidya Firyanda Sulaiman

[post-views]
Selaras