Banjarmasin, mu4.co.id – Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia pernah mengalami dinamika pasang surut dan berbagai tantangan.
Sebelum era kemerdekaan RI 1945, rakyat Indonesia sudah banyak yang bepergian ke tanah suci secara mandiri menggunakan kapal laut. Keluarga kaya yang memiliki harta berlebih, biasanya mengirim anak-anak mereka untuk belajar memperdalam ilmu agama kepada syeikh-syeikh terkemuka di Makkah dan Madinah.
Kaum pemuda yang sudah muak dengan penjajahan yang dilakukan oleh kolonial Hindia Belanda di Indonesia, juga banyak yang berangkat secara diam-diam ke tanah suci. Disana selain beribadah, mereka juga belajar tentang kemerdekaan, kebebasan dari belenggu penjajah dan perjuangan merebut kembali tanah air Indonesia. Sehingga sepulang dari Makkah dan Madinah, mereka bersatu menghimpun kekuatan dan bertekad untuk memperjuangkan kemerdekaan RI.
Sehingga pada masa penjajahan Hindia Belanda, pemerintah kolonial sangat membatasi rakyat Indonesia yang ingin bepergian ke tanah suci, bahkan menghalang-halangi dengan membuat ordonansi (regulasi haji) diterbitkan tahun 1859 yang memuat persyaratan ketat bagi orang Indonesia yang ingin berangkat haji.
Setelah Belanda hengkang dari tanah air Indonesia, Jepang mulai menduduki Indonesia sejak 1942. Mereka lebih ekstrem lagi dengan melarang kapal laut yang mengangkut jemaah haji Indonesia berlayar ke tanah suci. Sehingga otomatis tidak ada pemberangkatan jemaah haji selama beberapa tahun.
Setelah Indonesia merdeka di tahun 1945 pun, tidak ada pemberangkatan jemaah haji dikarenakan masalah keamanan dan kondisi negara yang belum kondusif. Waktu itu rakyat sibuk berjihad melawan Belanda yang hendak kembali menjajah tanah air Indonesia.
Barulah setelah 4 tahun merdeka, pada 1949 bertepatan dengan 1370 H, pemberangkatan haji Indonesia dimulai kembali. Pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama RI untuk pertama kalinya mengorganisasi penyelenggaraan ibadah haji jemaah Indonesia. Menurut arsip data statistik haji yang diterbitkan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI, jumlah jemaah yang berangkat untuk pertama kalinya dalam sejarah tersebut sebanyak 9.892 orang.
Jemaah haji pertama didampingi 41 petugas. Dari 9.892 jemaah Indonesia, 320 orang (2,23 persen) di antaranya meninggal dunia.
Pemberangkatan jemaah haji kala itu masih menggunakan transportasi kapal laut. Belum ada transportasi udara (pesawat terbang) yang melayani jemaah haji Indonesia waktu itu. Meskipun sebenarnya bangsa Indonesia baru saja membeli 1 buah pesawat terbang pertama tahun 1948 berkat sumbangan dari rakyat Aceh setara dengan 20 kg emas. Pesawat tersebut kemudian diberi nama Dakota RI-001 Seulawah. Seulawah sendiri berarti “Gunung Emas”.
Lantas berapa biaya yang harus disetor jemaah haji pertama kalinya tahun 1949 di Indonesia tersebut?
Ongkos naik haji (ONH/ sebutan biaya haji pada waktu itu) pertama kalinya dalam sejarah Indonesia itu menggunakan transportasi laut sebesar Rp3.395.
Sebagai informasi, berdasarkan data sejarah yang dikutip dari Kemenkeu disebutkan Nilai Oeang Republik Indonesia (ORI) melalui Undang-Undang tanggal 25 Oktober 1946 ditetapkan 10 rupiah ORI = 5 gram emas murni, atau berarti Rp2 = 1 gram emas.
Sehingga bila ONH tahun 1949 sebesar Rp3.395 artinya sebanding dengan 1.697,5 gram emas.
Ongkos naik haji ini meningkat hampir dua kali lipat pada tahun berikutnya dan terus bertambah setiap tahunnya.
Tahun 1950, Menteri Agama kala itu, K.H.A. Wahid Hasjim memperbaiki penanganan urusan haji. Dia menetapkan kebijakan bahwa pelaksanaan ibadah haji sepenuhnya ditangani pemerintah, yakni oleh Bagian Urusan Haji dari Kementerian Agama. Dalam pelaksanaannya, bagian ini bekerjasama dengan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI) sebagai satu-satunya lembaga resmi pemerintah yang mengurus masalah haji, yang didirikan pada 21 Januari 1950 dengan Ketuanya K.H. M. Sudja’ (tokoh Muhammadiyah yang pernah mendirikan Badan Penolong Haji) dan Wakil Ketua K.H. A. Wahab Chasbullah, Sekretaris Muhammad Sjaubani, Bendahara Abdul Manaf, dan dibantu oleh Ki Bagus Hadikusumo, H.M. Muljadi Djojomartono dan K.H. Moh. Dachlan.
Baca juga: Berapa Perbandingan Biaya Haji Indonesia Dari Tahun ke Tahun?
Pada musim haji 1950 M/ 1371 H, jemaah yang berangkat kala itu sebanyak 1.843 orang dan yang meninggal dunia 42 orang. Ongkos naik haji naik menjadi Rp 6.429.
Pada dekade 1950-an ini pula diperkenalkan pembagian kuota haji (dahulu disebut kotum) untuk masing-masing daerah.
Setahun berikutnya atau 1951, pemerintah memberangkatkan 9.502 jemaah haji dengan ongkos naik haji Rp 6.847.
Di tahun 1951 ini pula Menteri Agama mengeluarkan surat edaran yang memberitahukan bahwa setiap calon jemaah haji akan mengikuti tes uji pengetahuan untuk mengetahui apakah mereka cukup memahami prosesi ibadah haji.
Baru pada 1952, pemerintah menggunakan dua moda transportasi untuk mengangkut jemaah haji ke Tanah Suci, kapal laut dan pesawat terbang. Ongkos naik haji dengan pesawat pertama kala itu Rp 16.691, sementara kapal laut sebesar Rp 7.500 atau naik Rp 653.
Tarif ongkos naik haji sempat turun pada 1953 sebelum akhirnya naik cukup tinggi pada tahun berikutnya. Di tahun 1953 ini pula dilakukan pemberangkatan Jemaah haji menggunakan pesawat udara, meski masih lebih banyak jemaah haji memilih menggunakan kapal laut. Karena selisih tarif pesawat Rp 13.300 dan kapal laut Rp 7.300. Lalu, pada 1954, ongkos naik haji dengan pesawat menjadi Rp 23.304 dan kapal laut Rp 8.000.
Tahun 1953 sejalan dengan cita-cita K.H.M. Sudja’ yang mencanangkan perlunya pembelian kapal haji untuk kemandirian pengangkutan jemaah haji Indonesia, Yayasan PHI dengan dukungan Menteri Agama K.H. Masjkur tahun 1953 mendirikan PT. Pelayaran Muslimin Indonesia (MUSI). Perusahaan pelayaran PT. MUSI membuka kantor di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Usaha PHI tidak mudah diwujudkan karena faktor politik, ekonomi dan kendala teknis lainnya. Hingga akhirnya kontrak PT. MUSI dengan pihak Jepang untuk pembuatan kapal-kapal haji terpaksa dibatalkan.
Baca juga: Buntut Kejadian Delay 28 Jam, Kemenag Disarankan Beli Pesawat Haji
Barulah pada tahun 1964, cita-cita pengadaan kapal haji yang mengalami lika-liku tersebut baru bisa terwujud pada 1 Desember 1964/ 27 Rajab 1384 dengan berdirinya PT. Pelayaran Arafat. Pelindung PT. Arafat adalah Presiden Soekarno selaku pribadi. Para pendiri PT. Pelayaran Arafat antara lain; Letjen H.M. Muljadi Djojomartono selaku Ketua Wali Pemegang Saham, Jenderal A.H. Nasution, Ali Sadikin, H. Anwar Tjokroaminoto, K. Broto Sutardjo dan H. Bakrie Sudja’. Sri Sultan Hamengkubowono IX juga sebagai pendiri PT. Pelayaran Arafat.
Saham PT. Pelayaran Arafat berasal dari umat Islam calon jemaah haji dan saham pemerintah. Pengumpulan dana sebagai saham pembelian kapal haji diatur dan dilaksanakan oleh Dewan Urusan Haji dengan restu Presiden Soekarno.
PT. Pelayaran Arafat tahun 1965 membeli 3 buah kapal laut untuk pengangkutan jemaah haji. Salah satunya diberi nama oleh Presiden Soekarno, dengan nama Kapal Cut Nya’ Dhien Srikandi Muslimah.
Dalam Kabinet Dwikora II tahun 1965 dibentuk Departemen Urusan Haji. Presiden Soekarno mengangkat Prof. K.H. Farid Ma’ruf, seorang ulama intelek Muhammadiyah dari Yogyakarta, sebagai Menteri Urusan Haji. Menteri Urusan Haji berada dalam lingkup koordinasi Menteri Koordinator Urusan Agama yang saat itu dijabat oleh Prof. K.H. Saifuddin Zuhri.
Dalam perkembangannya PT Pelayaran Arafat mengalami kesulitan keuangan, Pemerintah tidak bisa menyelamatkan PT Pelayaran Arafat dan menyatakannya pailit sekitar tahun 1976. Perjalanan haji dengan transportasi kapal laut ditiadakan mulai tahun 1979, tidak lama setelah PT. Pelayaran Arafat dinyatakan pailit. Sejak saat itu transportasi haji hanya menggunakan pesawat udara.
Sejak dekade pertama Orde Baru penyelenggaraan haji sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah dan melarang penyelenggaraan haji oleh organisasi atau swasta. Hal ini dilatarbelakangi kekacauan pengurusan haji yang pernah dilakukan oleh pihak swasta melalui Mukersa Haji dan Yayasan Al-Ikhlas.
Ketika itu Yayasan Al-Ikhlas akan memberangkatkan 850 jemaah haji dengan mencarter kapal Tampomas. Pembayaran cek untuk biaya pengangkutan jemaah haji di Bank of America ternyata cek kosong disebabkan dananya tidak mencukupi. Pembatalan keberangkatan calon haji ke tanah suci ketika itu menjadi isu nasional yang memilukan.
Hingga akhirnya kini penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia sudah semakin berkembang dan menjadi negara yang terbanyak memberangkatkan jemaah hajinya di dunia setiap tahun. Meski masih ada kekurangan disana-sini yang perlu dibenahi dan ditingkatkan demi kenyamanan jemaah Indonesia dalam menjalankan ibadah haji.
(Ditulis dari berbagai data dan sumber referensi)