Jakarta, mu4.co.id – Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Yahya Zaini menilai pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) domestik secara masif pasca moratorium (penundaan) yang dilakukan sejak 2011 itu tidak bijak dan seharusnya dilakukan secara selektif.
“Karena saya tidak setuju kalau langsung dibuka blar gitu, pekerja domestik langsung diberikan ruang, itu menurut saya kurang arif ya. Karena kita sudah lama melakukan moratorium, maka tiba-tiba dibuka begitu, jebol,” ujar Yahya, dikutip dari Kompas, Rabu (30/4).
Yahya menyarankan agar pemerintah mengutamakan pengiriman tenaga kerja sektor formal, idealnya melalui skema kerja sama antar pemerintah daripada antar perusahaan, guna meminimalkan potensi masalah.
Sebelumnya, pemerintah berencana mencabut moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi yang diberlakukan sejak 2015 akibat tingginya kekerasan terhadap TKI. Pencabutan akan dilakukan setelah persiapan teknis selesai dan ditandai penandatanganan MoU.
Baca Juga: Petugas Gabungan Gagalkan 71 Orang yang Coba Pergi Haji Dengan Visa Turis!
Rencana pengiriman mencakup 600.000 TKI, terdiri dari 400.000 untuk sektor domestik dan 200.000 tenaga terampil, dengan perubahan komposisi menjadi 60% untuk pekerjaan domestik. Pemerintah sendiri menargetkan 297.000 job order pada 2025 dan 425.000 pada 2026.
TKI Tetap Berangkat Secara Ilegal
Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Karding mengungkapkan bahwa sejak moratorium ke Arab Saudi diberlakukan pada 2011, sebanyak 183.000 TKI tetap berangkat secara ilegal. Pernyataan ini disampaikan dalam rapat bersama Komisi IX DPR pada Senin (28/4).
“Dan totalnya dari kunjungan ke Riyadh, itu total pekerja kita yang ada di sana itu ada 183.000 yang rawan tidak terlindungi,” ujar Karding.
Setiap tahun, sekitar 25.000 TKI tetap berangkat ke Arab Saudi secara ilegal tanpa perlindungan karena tidak terdata. Menteri P2MI Abdul Karding menekankan pentingnya perhatian terhadap kondisi ini demi perlindungan TKI, meskipun moratorium masih berlaku.
“25.000 ini tidak terdata di Sisko P2MI atau terdaftar oleh negara kita. Sehingga 25.000 per tahun ini menjadi sangat riskan perlindungannya untuk mereka. Jadi tidak ada perlindungan sama sekali,” ungkapnya.
(Kompas)