Jakarta, mu4.co.id – Selain ramainya kasus korupsi timah Rp 271 triliun di Bangka Belitung, ternyata muncul kasus baru yang tak kalah heboh sekaligus memprihatinkan, yaitu kasus tertukarnya Sandra Dewi dan Dewi Sandra.
Tertukarnya nama dua artis ini adalah sisi lain dari kasus istri dari salah seorang tersangka kasus korupsi 271 triliun, Harvey Moeis, yakni Sandra Dewi. Karena saking geram dan bersemangatnya, warganet pun meluapkan kemarahannya di medsos hingga salah orang, bukannya Sandra Dewi, malah artis lain yang tidak ada hubungannya dengan kasus tersebut yaitu Dewi Sandra yang diserbu netizen.
“Makan hasil korupsi selama ini ya,” tulis salah seorang warganet di akun Instagram Dewi Sandra.
“Keliatan agamis, tapi lakinya ketangkep bawa uang 271T,” tulis warganet lain.
“Oh ini yg suaminya korupsi 271 T?? Hmmm mba kasian amat,” ucap warganet lainnya.
Di sisi lain ada pula warganet yang menyayangkan sikap beberapa oknum yang tak bisa membedakan Dewi Sandra dan Sandra Dewi. “anda salah orang mbb, ini akun dewi sandra, yang suaminya korup itu sandra dewi dibaca dong beritanya jangan asal komen,” tambah warganet lain.
Menghadapi komentar-komentar tersebut, Dewi Sandra pun menanggapinya dengan santai dan bijak, dan menutup komentar sementara akun media sosialnya.
Jari warga Indonesia memang diakui sangat lincah dan gesit, terutama di media sosial. Namun hal itu tidak disertai dengan tingkat literasi (minat baca) yang baik, kurang teliti, serta tidak didukung pencernaan dan saringan yang baik terhadap informasi.
Hal tersebut pun menjadi bukti bahwa kurangnya literasi di Indonesia. Dimana berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis OECD tahun 2019 terkait tingkat literasi, yang menempatkan Indonesia di peringkat 62 dari 70 negara, atau 10 negara terbawah.
Bahkan, menurut data dari UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Kondisi tersebut pun sangat memprihatinkan, karena dengan tingkat literasi yang rendah, masyarakat akan rentan dimasuki hoaks, disinformasi dan sejenisnya, sehingga masyarakat akan lebih mudah terhasut. Sedangkan dengan kemampuan literasi yang baik dapat membuat seseorang untuk memahami, menganalisis, dan menafsirkan informasi secara kritis, tidak hanya diterima mentah-mentah, atau hanya sekadar membaca judul berita.
Sumber: rm.id