Banjarmasin, mu4.co.id – Koalisi Masyarakat Peduli Pers Banua menggelar aksi protes di depan Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, Jalan Lambung Mangkurat, Banjarmasin, pada Senin (24/6).
Massa dari organisasi jurnalis seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banjarmasin, lembaga pers mahasiswa, aktivis, dan pembuat konten menyuarakan penolakan terhadap sejumlah pasal kontroversial dalam revisi UU Penyiaran.
Aksi dimulai dari Bundaran Hotel A Banjarmasin, di mana massa membentangkan spanduk penolakan terhadap RUU Penyiaran sambil melakukan orasi.
Baca Juga: Ini Alasan Dewan Pers Dengan Tegas Tolak Revisi UU Penyiaran!
Selang 15 menit, massa bergerak menuju gedung DPRD Kalsel yang terletak beberapa ratus meter dari lokasi sebelumnya.
Koordinator Aksi, Diananta Putera Sumedi, menegaskan bahwa RUU Penyiaran dapat mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berpendapat.
“Dalam draft revisi tersebut terdapat sejumlah pasal yang bermasalah,” ucap Dianata saat berorasi, dilansir dari Banjarmasin Post, Selasa (25/6).
Dalam aksi ini, massa mendesak DPRD Kalsel menyampaikan tuntutan mereka untuk memusnahkan pasal-pasal bermasalah dalam RUU Penyiaran ke DPR RI.
Perwakilan DPRD Kalsel yang bertemu dengan massa adalah Ketua Komisi I, Suripno Sumas. Dia berkomitmen untuk menyampaikan aspirasi Koalisi Masyarakat Peduli Pers kepada Komisi I DPR RI. Suripno berharap bahwa gelombang penolakan saat ini akan dipertimbangkan oleh DPR RI sebelum mengesahkan revisi UU Penyiaran yang sedang ditunda.
“Aspirasi ini akan disampaikan kepada Ketua DPRD Kalsel. Kemudian bulan Juli kami ada agenda ke Jakarta, tuntutan ini sekaligus disampaikan,” ucapnya.
Daftar RUU Penyiaran yang menjadi sorotan
Ada sejumlah pasal yang dianggap bermasalah dalam RUU Penyiaran jadi sorotan, antara lain:
- Pasal 8A ayat (1) huruf q
Pasal 8A ayat (1) RUU Penyiaran menyebutkan 17 wewenang dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat.
“menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Wewenang KPI menyelesaikan sengketa jurnalistik dalam RUU Penyiaran bertentangan dengan fungsi Dewan Pers yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pers”.
Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers menyatakan, Dewan Pers salah satunya berfungsi “memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers”.
- Pasal 28A ayat (1)
Melarang Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) menyalurkan isi siaran dengan kriteria tertentu. Siaran yang dilarang yakni berisikan sebagai berikut:
a. menyalurkan isi siaran yang membahayakan kepentingan bangsa dan negara serta mengancam pertahanan dan keamanan nasional
b. menyiarkan dan/atau menyalurkan isi siaran yang bertentangan dengan nilai kesusilaan
c. menyiarkan dan/atau menyalurkan isi siaran yang terindikasi mengandung unsur pornografi, sadistis, serta mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan
d. menayangkan isi siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender
Sementara ayat (2) menyatakan LPB yang melakukan pelanggaran akan dikenai sanksi administratif oleh KPI berupa teguran tertulis, denda, penghentian sementara isi siaran bermasalah, atau penghentian siaran.
Ayat (3) mengatur LPB melengkapi pelanggan dengan peralatan yang memungkinkan pelanggan untuk menutup kanal yang tidak diinginkan. - Pasal 34F
Pasal 34F ayat (2) huruf e mengatur penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lain wajib memverifikasi konten siarannya ke KPI sesuai Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS).
Penyelenggara penyiaran yang dimaksud dalam pasal ini termasuk kreator yang menyiarkan konten lewat Youtube, TikTok, atau media berbasis user generated content (UGC) lainnya.
Peraturan ini bertabrakan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur platform berbasis UGC.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 dan Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 juga mengatur konten-konten yang didistribusikan melalui platform UGC.
- Pasal 42
Pasal 42 ayat (1) mengatur “muatan jurnalistik dalam isi siaran lembaga penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Namun, ayat (2) mengatur “penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
- Pasal 50B ayat (2) huruf c
Pasal 50B ayat (2) huruf c memuat aturan Standar Isi Siaran (SIS) melarang “penayangan eksklusif jurnalistik investigasi” dalam panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran.
Pelarangan ini mengancam kemerdekaan pers dan bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
- Pasal 50B ayat (2) huruf k
Pasal 50B ayat (2) huruf k memuat SIS yang melarang “penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme”.
Pasal ini dinilai subyektif dan multitafsir, terutama perihal penghinaan dan pencemaran nama baik hingga berpotensi menjadi alat membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis dan pers.
- Pasal 51E
Pasal 51E mengatur “sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Peraturan tersebut berpotensi menimbulkan dualisme antara Dewan Pers dan KPI karena dapat memutuskan aduan terkait sengketa jurnalistik.
(Banjarmasin Post, Kabar Makassar)