Jakarta, mu4.co.id – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI tengah mengkaji wacana kebijakan baru bagi influencer atau pemengaruh di Indonesia untuk diwajibkan memiliki sertifikat sebelum membuat konten tertentu di media sosial, seperti yang diberlakukan oleh pemerintah China.
Diketahui, China baru menerapkan kebijakan yang mewajibkan influencer memiliki ijazah atau sertifikat akademik sebelum membuat konten bermuatan profesional. Aturan tersebut mencakup konten di bidang kedokteran, keuangan, hukum, pendidikan, kesehatan, dan sektor yang dinilai rawan penyebaran informasi keliru atau hoaks.
Melalui kebijakan tersebut, platform digital seperti Douyin (TikTok versi Tiongkok), Bilibili dan Weibo diwajibkan memverifikasi kelayakan akademik kreator sebelum diizinkan mengunggah konten profesional. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat berujung pada sanksi berupa denda hingga 100.000 yuan (sekitar Rp230 juta) atau penutupan akun.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Komdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto menyebut pihaknya tengah melakukan pembahasan internal terkait kemungkinan Indonesia juga akan menerapkan kebijakan serupa.
“Informasi ini masih baru, kami masih kaji dulu memang. Kami ada grup WA (WhatsApp), kami lagi bahas ‘Gimana ini isu ini? Ada negara udah mengeluarkan kebijakan baru nih’, ini masih kita kaji,” terangnya, Selasa (04/11/2025).
Baca juga: Seperti Starlink! Komdigi Kaji Internet Satelit Langsung ke Ponsel Tanpa Sinyal BTS
Lebih lanjut, Bonifasius menyebut pihaknya selalu memantau kebijakan negara-negara lain yang berkaitan dengan langkah dalam menjaga ekosistem digital. Ia mencontohkan, Indonesia belajar dari Australia yang membatasi penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur. Hasilnya, terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Bonifasius menilai ide tersebut merupakan upaya untuk memastikan kompetensi dari para pembuat konten, terutama dalam menyajikan isu-isu sensitif dan krusial seperti isu kesehatan. Influencer diharapkan dapat lebih bertanggung jawab ketika membuat konten tanpa mengurangi kebebasan berekspresi di ruang digital.
“Kita perlu menjaga, tapi jangan sampai terlalu mengekang. Kompetensi memang diperlukan, jangan sampai muncul tadi justru mereka yang membuat konten yang salah,” tuturnya.
Meskipun demikian, Pemerintah belum mengambil keputusan apakah kebijakan serupa perlu diterapkan di Indonesia. Ia menegaskan Komdigi membuka ruang dialog dan menerima masukan dari berbagai pihak terkait.
“Kita harus mendengar (masukan). Kalau perlu (diterapkan) oke, tapi gimana? Seperti apa? Kan pasti ada leveling grade-nya. Seperti apa harus kita atur? Menyasar siapa saja? Karena sekarang yang jadi konten kreator banyak banget,” ungkap Boni.
(detik.com, timesindonesia.co.id)













