Media Berkemajuan

27 Juli 2024, 08:30

Parenting: Parent Think, Mengapa Penting? (Bagian 3)

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram
Print
Parenting [Foto: w.republika.co.id]

Banjarmasin, mu4.co.id – Mendidik, mengasuh dan mengajar memiliki tujuan dan ada tahapan-tahapan yang harus dilewati. Islam sangat peduli dengan tujuan dan tahapan-tahapan dalam mendidik, mengasuh, dan mengajar.

Untuk fase pendidikan, idealnya umur 0-15 tahun fokus tujuannya adalah pembentukan karakter (character building), umur 15-40 tahun fokus tujuannya adalah pemenuhan kecakapan dan kompetensi hidup (capacity building), sementara 40 tahun sampai akhir hayat adalah fokus dalam meraih dan berkontribusi terhadap perbaikan umat dan semesta (summit reaching).

Dalam mendidik, ada prinsip dan kaidah yang harus dijalankan. Maka, dalam mendidik harus memperhatikan tahapan-tahapannya. Tidak semua yang lebih cepat dalam mendidik lebih baik. Prinsip lainnya, prinsipnya sudah perlu dan sudah mampu, maka pada setiap usia ada tugas-tugas yang harus dilakukan oleh seorang anak. Sebagai contoh, kapan waktunya wajib sholat dan diajarkan sholat, maka dengan jelas Rasulullah SAW memandu kita.

Modalitas Parenting

Pertama, hidayah Allah SWT, modalitas parenting pertama bagi ayah dan bunda adalah hidayah-Nya, mustahil Allah SWT memberikan amanah kepada orang tua yang dianugerahi anak tanpa menyiapkan kompetensi. (Al ‘Ala: sabbihis marobbikal ‘ala).

Belajar dari seekor ayam, kita akan menyaksikan ayam tidak pernah belajar parenting, tetapi seekor ayam tahu kapan melepas anaknya untuk mencari makan sendiri.

Yang perlu kita lakukan untuk melatih kompetensi kita sebagai orang tua adalah, terus menggali, bertanya dari dalam, menggali kekuatan diri bahwa Allah SWT sudah menyiapkan diri ilmu parenting. Hanya saja mungkin kita lalai sehingga Allah SWT adalah al ghayyur (maha pencemburu) maka ilham, hidayah, ilmu yang sebelumnya diberikan Allah SWT kembali dicabut, Allah SWT kembali angkat, bisa jadi karena selama ini kita tidak menggunakan kapabilitas berpikir dan potensi diri yang Allah SWT sudah berikan sebelum di anugerahi seorang anak, mungkin selama ini kita lebih percaya pada dari luar diri kita.

Maka, memahami Qur’an Surat 66 ayat 6 adalah menjadi kunci tentang parenting, maha suci Allah, sesusungguhnya Allah yang telah mengilhamkan kepada kita sebagai berperan menjadi orang tua.

Kedua, adalah pengalaman. Pengalaman masa lalu kita adalah karunia yang sangat berharga, yang dapat menjadi modalitas kita dalam mendidik anak. Pengalaman harus dimanfaatkan untuk menjawab maksud apa yang terjadi, mengapa hadir menjadi takdir, dan kita harus meyakini semua irodah Allah maka akan happy ending.

Pengalaman ini yang akan menjadi sumber belajar dalam mendidik, mengasuh dan mengajar anak-anak kita. Kesalahan-kesalahan di masa lalu jangan diulangi. Dengan akal sehat maka pengalaman akan menjadi modalitas, mana saja pengalaman pendidikan yang diteruskan atau tidak untuk dilakukan sebagai orang tua. Masa lalu adalah hadiah terbaik dari Allah untuk masa depan pendidikan anak-anak kita.

Ketiga, sumber lain dari parenting adalah akal sehat kita sebagai orang tua. Akal sehat adalah kemampuan yang luar biasa secara relatif akan menjadi kekuatan menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Syaratnya, berpikir dahulu dan jangan terlalu cepat bertanya pada orang lain, kecuali sudah mentok. Fas’alu ahladz dzikri, demikian panduan ilahiyah, bertanyalah apada ahlinya jika kita mentok tidak tahu. Agar kita tidak kufur nikmat.

Keempat, selanjutnya modalitas kita sebagai orang tua adalah hati nurani. Maka dalam parenting, yakini ada wilayah dalam diri kita yang Allah SWT pelihara, yaitu nur, hati nurani. Hati yang bisa dimintai fatwa, hati yang merasakan, hati yang selalu jujur, sebagian ulama menyebut hati kecil kita. Bertanyalah pada hati, pada feeling, pada apa yang diarasakan. Karena mendidik anak tidak selamanya berbasis pada data, pada riset, pada kebanyakan orang. Namun, mendidik juga harus mengikuti hati nurani.

Kelima, adalah fitrah orang tua. Modalitas parenting selanjutnya adalah fitrah ayah bunda sebagai manusia. Sebagai manusia memiliki rasa suka, benci, marah, dan sifat-sifat kemanusiaan lainnya. Pada saatnya memang harus marah maka tunjukan kemanusiaan kita. Ketika saatnya anak melampaui batas, maka orang tua harus menunjukan sifat kemanusiaannya. Kapan marah, kapan cinta, kapan benci, dan lain sebagainya yang menunjukan kemanusiaannya.

Fitrah kedua adalah meyakini bahwa ayah dan bunda memiliki ilham sebagai orang tua yang Allah SWT tanamkan sebelum memiliki anugerah anak. Fitrah ayah dan bunda memiliki ilham dan hidayah dalam mendidik anak. Sayangnya kita sebagai orang tua sering mengabaikan fitrah-fitrah ini. Fitrah ayah dan bunda tidak bisa dipindahkan satu sama lain, ayah adalah ayah sang pendidik, bunda adalah bunda sang pengasuh. Fitrah keayahan dan kebundaan tidak bisa disamakan.

Seorang ayah adalah laki-laki pada dasarnya ego dan akan apresiasi tinggi, maka ketika seorang anak sudah menyinggung, melampaui batas, maka fitrah seorang laki-laki harus tidak ditutupi karena laki-laki fitrahnya maskulinitas, memiliki ketersinggungan, memiliki ego, harga diri, dan akan apresiasi tinggi.

Keenam, selanjutnya kehidupan itu sendiri adalah modalitas parenting. Sebenarnya tugas ayah dan bunda akan lebih ringan kalau mendidik anak bersama kehidupan dengan realitasnya. Kalau kehidupan anak kita batasi dengan realitas, pastinya kita akan lelah dan pegal.

Yang harus kita yakini adalah tidak membenci kehidupan! Yang harus kita siapkan dalam diri anak adalah bagaimana kita mengajarkan konsekuensi dalam setiap kehidupan. Kita akan lelah dan kepayahan kalau semua anak kita pisahkan dengan kehidupan atau terlalu diproteksi dalam kehidupannya, lalu kita tangani sendiri maka akan capek dan letih karena sebagian energi kehidupan kita pindahkan dalam diri sendiri.

Kita harus meyakini ada banyak kebaikan dalam realitas kehidupan karena sifat kehidupan adalah hayat menumbuhkan. Betul, bahwa dalam realitas kehidupan ada banyak kebathilan, namun jauh lebih banyak ada kebaikan (al-haq) dalam kehidupan karena sifatnya al haq adalah eksis, sementara al bathil adalah tabthil yaitu tidak eksis. Jika dalam kehidupan ada 10 keburukan, maka di dalam kehidupan ada 100 kebaikan lainnya.

Banyak modalitas lainnya dalam peran keayahbundaan (parenting), seperti seminar, buku, dan lain sebagainya. Namun, kita terlalu miskin dan sering merasa cukup untuk berdoa pada Sang Maha Pendidik, Rabbul’alamin, Sang pendidik alam semesta, maka tugas kita adalah berdoa dan berdoa, memohon petunjuk dalam mendidik.

Wallahu’alam.

(Semarang, 4 November 2022. Penulis seorang Aktivis Pendidikan dan Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah 10 Banjarmasin).

[post-views]
Selaras