Jakarta, mu4.co.id – Harvey Moeis diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk dari tahun 2015 hingga 2022. Kasus ini diduga menyebabkan kerugian lingkungan sebesar Rp 271 triliun.
Sampai saat ini, 16 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Selain Harvey, Helena Lim dari Pantai Indah Kapuk (PIK) juga baru-baru ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kuntadi, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung menyebutkan Harvey Moeis ditetapkan sebagai tersangka karena perannya sebagai perpanjangan tangan dari PT RBT. Dia disebut telah menghubungi mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, MRPT alias RZ.
“Adapun kasus posisi pada perkara ini, bahwa sekira tahun 2018 sampai dengan 2019. Saudara HM ini menghubungi Direktur Utama PT Timah yaitu saudara MRPT atau Saudara RZ dalam rangka untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah, yang bersangkutan dalam kapasitas mewakili PT RBT, namun bukan sebagai pengurus PT RBT” ucapnya, dikutip dari detik bali, Kamis (4/4).
Kejaksaan Agung telah menetapkan MRPT sebagai tersangka terlebih dahulu dalam kasus yang sama. Kuntadi mengungkapkan bahwa Harvey pernah melakukan pertemuan dengan RZ, dan hasilnya adalah kesepakatan untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar melalui sewa menyewa peralatan untuk proses peleburan timah.
“Yang selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan dimaksud,” tambahnya.
Kuntadi menyatakan bahwa Harvey meminta smelter untuk menyisihkan sebagian keuntungan yang dihasilkan, yang kemudian diserahkan kepadanya seolah-olah sebagai dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena Lim, yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka dan merupakan Manager PT QSE.
Dana yang terkumpul kemudian dinikmati Harvey dan para tersangka lainnya.
Pada tahun 2018, tersangka ALW sebagai Direktur Operasi PT Timah Tbk periode 2017-2018, bersama tersangka MRPT sebagai Direktur Utama PT Timah Tbk, dan tersangka EE sebagai Direktur Keuangan PT Timah Tbk, menyadari bahwa pasokan bijih timah yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut lebih sedikit daripada perusahaan smelter swasta lainnya. Hal ini disebabkan oleh penambangan liar yang masif dilakukan di wilayah IUP PT Timah Tbk.
Tersangka ALW, bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE, yang seharusnya bertindak melawan pesaing, malah menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama dengan membeli hasil penambangan ilegal dengan harga yang lebih tinggi daripada harga standar yang ditetapkan oleh PT Timah Tbk tanpa melakukan kajian terlebih dahulu.
Untuk memuluskan rencana mereka dalam mengakomodasi penambangan ilegal tersebut, ALW, bersama dengan MRPT dan EE, menyetujui untuk membuat perjanjian seolah-olah ada kerja sama sewa-menyewa peralatan proses peleburan timah dengan para smelter.
Ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, melakukan perhitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan di kawasan hutan dan nonkawasan hutan. Ia memperinci penghitungan kerugian yang terjadi di kedua kawasan tersebut.
“Di kawasan hutan, kerugian lingkungan ekologisnya itu Rp 157,83 T, ekonomi lingkungannya Rp 60,276 T, pemulihannya itu Rp 5,257 T. Totalnya saja untuk yang di kawasan hutan itu adalah 223.366.246.027.050,” ucap Bambang.
“Dan kemudian yang non kawasan hutan biaya kerugian ekologisnya Rp 25,87 Triliun dan kerugian ekonomi lingkungannya Rp 15,2 T dan biaya pemulihan lingkungan itu adalah Rp 6,629 triliun. Jadi total untuk untuk yang nonkawasan hutan APL adalah Rp 47,703 triliun,” tambahnya.
Dengan total kerugian yang mencapai Rp 271 Triliun, kasus ini disebut kasus korupsi terbesar di Indonesia.
Sumber: detik bali