Banjarmasin, mu4.co.id – Sebuah kisah nyata tentang seorang kakek di Afrika yang selalu tidak tertinggal shalat berjamaah di masjid sejak 40 tahun lalu.
Ia bahkan mengupayakan untuk senantiasa datang ke masjid sebelum adzan berkumandang dan mendapati Takbiratul Ula (takbir permulaan salat).
Baca juga: Self Healing: Keajaiban Mengingat Allah dan Tinjauan Ilmiahnya
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengajarkan kepada para sahabatnya tentang keutamaan orang yang senantiasa mendapatkan takbiratul ihram bersama imam. Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ
“Siapa yang shalat karena Allah 40 hari dalam jamaah mendapatkan takbir pertama (takbiratul ihram), ditulis baginya dua kebebasan. Kebebasan dari neraka, dan kebebasan dari sifat munafik.” * (HR. Tirmizi, no. 214)
* (Hadits ini dinyatakan lemah oleh Tirmizi juga dilemahkan sekelompok ulama mutaqodimin (generasi dahulu) disebabkan irsal (tidak menyebutkan shahabat, dari tabiin langsung ke Rasulullah). Sementara sebagian ulama muta’akhirin (generasi belakangan) menyatakan hasan, di antaranya Syaikh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi. Silahkan lihat Talkhis Habir, 2/27).
Hadis ini menjelaskan betapa besarnya pahala bagi siapa saja yang menjaga takbiratul ihram dan memberikan perhatian penuh agar bisa senantiasa membersamai imam dalam takbiratul ihram dan tidak terluput darinya.
Baca juga: Jadi Imam Masjid di Dubai, Inilah Kisah Perjalanan Asep Ismatullah
Bukanlah maksud di atas bahwa seseorang membersamai takbiratul ihram bersama imam selama empat puluh hari, setelah itu berhenti. Akan tetapi, yang dimaksud adalah jika hal itu bisa dilakukan selama empat puluh hari, maka seseorang akan merasakan manis dan nikmatnya ibadah, muncul kebiasaan, hilanglah beban ketika beribadah, sehingga dia akhirnya bisa istikamah dan konsisten melakukannya sampai seterusnya. Tentunya dengan hidayah dan taufik dari Allah Ta’ala.
Bayangkan bila mampu istikamah tanpa putus salat berjamaah dan mendapatkan takbiratul ihram bersama imam selama 40 hari saja begitu besar fadhilahnya. Lantas bagaimanakah dengan 40 tahun yang dilakukan oleh kakek tersebut?
Baca juga: Momen Mengharukan! Rombongan Murid SD Salat Berjemaah di Dalam Kereta
Namun ada satu hal yang membuat kakek ini risau, yaitu dsebabkan kakek ini hanya hidup seorang diri di rumahnya, tanpa ada anak, saudara atau keluarga yang menemani. Oleh karena itu ia khawatir bila suatu saat nanti ketika ajal menjemputnya dan tidak akan ada seorang pun yang mengetahui.
Maka sudah sejak beberapa waktu terakhir ini, kakek tersebut selalu berpesan dan berwasiat kepada jemaah yang dijumpainya di masjid.
“Sekiranya aku tidak terlihat hadir dan mengikuti salat fardhu di 2 waktu berturut-turut di masjid ini. maka ketahuilah bahwasanya diriku telah meninggal sendirian di rumahku.” pesan kakek tersebut.
Kemudian waktu berlalu, hingga akhirnya Allah menunjukkan skenario kehidupan yang indah. Apa yang tak mungkin bagi Allah?
Allah wafatkan kakek tersebut di hari Jum’at yang mulia, di saat shalat Jum’at, di dalam masjid yang selalu kakek itu datangi, dan dihadiri oleh banyak jemaah yang menjadi saksi kisahnya.
Maka pantaslah bila kakek yang selalu tidak tertinggal salat berjamaah di masjid dan senantiasa mendapati Takbiratul Ula bersama imam tersebut memperoleh balasan kemuliaan dari Allah.
Baca juga: Hukum Seputar Kematian
Dan seseorang akan diwafatkan sesuai kebiasaannya semasa hidupnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir dan Imam as-Sa’adi serta ulama lainnya rahimahumullaah:
أَنَّهُ مَنْ عَاشَ عَلَى شَيْءٍ مَاتَ عَلَيْهِ
“Sungguh siapa saja yang hidup di atas suatu kebiasaan tertentu, maka dia pun akan diwafatkan di atas kebiasaan tersebut.” (Ibnu Katsir, Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim, 2/101; as-Sa’adi, Taysiir al-Kariim ar-Rahmaan fii Tafsiir Kalaam al-Manaan, 1/130).
Sehingga kita boleh saja khawatir dengan keadaan sakaratul maut kita, dan bertanya-tanya apakah kelak mati dalam keadaan husnul khatimah atau su’ul khatimah? Namun pada akhirnya, kita akan mati sesuai dengan kebiasaan kita saat hidup; adakah kebiasaan kita itu selalu berada di jalan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala ataukah kita biasa melakukan dosa dan bermaksiat kepada-Nya? adakah kita selalu dalam keadaan ingat kepada Allah subhanahu wa ta’ala ataukah sering lalai kepada-Nya?