mu4.co.id – Anak kita, adalah manusia sebaik-baik penciptaan. Makhluk Allah berkesadaran. Allah menciptakan begitu sempurna, makhluk yang disiapkan untuk mengemban amanah semesta, rahmatan lil alamin sekaligus menjadi khalifah fil ardh. Dengan sebaik-baik penciptaan diberikan modalitas yang sangat dahsyat yang sangat khusus: pendengaran, penglihatan dan hati yang merasa (QS. Al Isra ayat 36).
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
(QS. Al Isra’: 36)
Sungguh penciptaan yang sempurna, yang kelak akan memikul dan memilih tanggungjawab dengan kesadarannya sebagai hamba-Nya. Sejak dalam kandungan tiga bulan Allah meniupkan Ruh-Nya kepada sang janin, saat itulah perjumpaan luar biasa antara makhluk dengan Sang Kholik terjadi (QS. Al Isra’ ayat 172). Perjumpaan fitrah imani (rububiyah) telah terjadi yang kelak akan memiliki konsekuensi sebagai hamba yang merdeka yang bisa memilih jalan pulangnya untuk kembali dan berjumpa kepada Rabb Semesta, apakah memilih jalan fujur (keburukan) atau memilih jalan taqwa (kebenaran), jalan yang dipilih dengan kehendak yang Allah ilhamkan kepada manusia. Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha, yakni maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (QS. As-Syams: 8).
Sekali lagi, kelak melalui irodah-Nya anak kita diberikan kehendak memilih melakukan hal baik atau hal buruk, atau tidak sama sekali. Sehingga, ketika dewasa (aqil baligh) kelak Ananda harus bertanggungjawab dengan pilihannya serta mampu mempertanggungjawabkannya. Tentu sebelumnya Allah berikan anak beberapa sifat-sifat ketuhanan, tentunya berukuran miniatur sesuai dengan kapasitas dirinya sebagai makhluk yang namanya manusia. Jika anak kita dididik sebagai anak yang bersyukur, maka ia kelak akan menjadi pribadi yang mendekat kepada Rabb-nya dengan sedekat-dekatnya. Namun, jika tumbuh menjadi pribadi kufur, maka ia akan menjadi manusia kafir berperangai bak Fir’aun: “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi.”
Maka, pilihannya hanya satu, Ananda butuh pendidikan iman, yaitu: bagaimana menyikapi kesadarannya berhadapan dengan Rabbnya. Iman ini yang menentukan: Apakah kesadarannya benar-benar akan digunakan dengan sebaik-baiknya sebagai hamba bagi Penciptaannya ataukah sebaliknya menjadi petaka bagi dirinya karena disalahgunakan untuk mempertuhankan dirinya sendiri dihadapan makhluk lainnya. Jika demikian, dirinya telah diperbudak oleh hawa nafsunya sendiri. Ya, itulah iman darinya segala bermula. Sebuah peta jalan bagi kehidupan untuk mengarahkan KESADARAN ke jalan yang dikehendaki oleh-NYA. Jalan Taqwa.
Maka, iman adalah yakin: sebuah tekad yang membulat tekad, sehingga lahirlah niat alias azam yang menghujam. Dari niat mampu mengarahkan fikir, sikap, ucap dan perbuatan. Sehingga dari keyakinanlah terucap syahadat dan dari keyakinan pula ditegakkan sholat.
Maka, itulah Tauhid: satu kesatuan yang menyatu!!!
Syahadat bukanlah ucapan yang hanya dilatihkan dan juga sholat bukanlah buah semata dari pembiasaan. Namun, seharusnya ucapan syahadat dan sholat lahir dari sumber keyakinan iman dalam hati yang melimpah ruah, membanjiri jasad dalam amal perbuatan, maka iman adalah “diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan.” Sehingga tak perlu lagi sebagai Ayah Bunda mendengar “libur syariat”, ketika dipondok menjadi sholeh, keluar pondok menjadi toleh (jauh dari kesholehan). Atau tidak lagi menetes air mata kesedihan, anakku dulu rajin tilawah, namun sekarang membaca satu halaman pun susah dan payah.
Tanpa iman tak satupun amal perbuatan sampai ke langit, ia bagai fatamorgana di tengah sahara, seperti debu dibatu licin yang tertiup angin tanpa sisa. Bukankah Rasulullah SAW mengingatkan umatnya. “Sesungguhnya setiap amal tergantung dengan niatnya…” Tak perlu Ayah dan Bunda menyesali di kemudian hari, “Ananda terlihat banyak amal sholih, namun teramat sedikit amal yang menjadi pahala.” Ya, sebab amal Ananda tanpa melibatkan niat dalam hati hanya amal dengan jasad buah dari pembiasaan belaka, sungguh ucapan tanpa niat dalam hati adalah membeo sementara amal tanpa keyakinan adalah kemunafikan. Kemanakah pendidikan iman itu dididik?
Bersambung…
Solo, Senin, 31 Oktober 2022 / 5 Rabi’ul Akhir 1444 H
(Penulis seorang praktisi pendidikan, kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah 8 dan 10 Banjarmasin)