Media Berkemajuan

22 April 2025, 23:39
Search

Benarkah Tidak Boleh Mengerjakan 2 Kali Shalat Witir Dalam Satu Malam? Apa Dalilnya?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram
Print
Shalat
Ilustrasi. [Foto: iStock]

Edisi Khusus 16 Ramadhan 1446 H

Banjarmasin, mu4.co.id – Hadis لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ yang artinya “Tidak ada dua witir dalam satu malam” sering menjadi perbincangan di kalangan ulama dan umat Islam terkait tata cara shalat witir dalam satu malam. 

Perdebatan muncul ketika ada yang berpendapat bahwa setelah melaksanakan shalat malam sebanyak 11 rakaat, seseorang masih boleh menunaikan shalat malam lagi di waktu lain asalkan tidak mengulang witir. Di sisi lain, ada yang memilih berhenti setelah 8 rakaat dan meninggalkan imam karena berencana melaksanakan shalat malam lagi dengan witir di waktu berbeda. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya makna dan penerapan hadis tersebut?

Baca Juga: Shalat Tarawih 8 Rakaat, Dikerjakan 4-4 atau 2-2-2-2? Ini Dalilnya!

Dalil yang disebutkan diatas, terdapat dalam hadis:

عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ. [رواه أحمد وأبو داود والترمذى والنسائى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Talq Ibn ‘Ali ia berkata: Saya mendengar Nabi saw bersabda: Tidak ada dua witir dalam satu malam.” [HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai].

At-Tirmidzi menilai hadis ini sebagai hasan, sementara ulama lain, termasuk Ibn Hibban, menganggapnya shahih (Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz III, hlm. 55). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat witir yang telah dilakukan tidak boleh dibatalkan. 

Namun, setelah witir, seseorang tetap diperbolehkan melaksanakan shalat sunah dengan jumlah rakaat genap (dua rakaat-dua rakaat) hingga menjelang waktu subuh. Pendapat ini didasarkan pada hadis:

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشَرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوْتِرُ ثُمَّيُصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَاْلإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُبْحِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Salamah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Aisyah ra. tentang shalat (malam) Rasulullah saw. Kemudian ‘Aisyah berkata:Beliau saw melakukan shalat 13 raka’at. Beliau shalat 8 raka’at, kemudian witir. Lalu beliau shalat (lagi) dua raka’at dilakukan dengan duduk. Jika beliau akan ruku’ beliau berdiri kemudian ruku’ dan shalat dua raka’at antara adzan dan iqamah di waktu shalat shubuh.” [HR. Muslim].

Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama, termasuk di kalangan sahabat seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Ammar bin Yasir, Rafi’ bin Khudaij, ‘Aid bin ‘Amr, Talq bin ‘Ali, Abu Hurairah, Aisyah, Sa’d bin Abi Waqash, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu ‘Abbas. Di antara tabi’in yang sependapat adalah Sa’id bin Musayyab, ‘Alqamah, Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, Sa’id bin Jubair, Makhul, Al-Hasan Al-Bashri, dan Thawus. Sementara dari kalangan imam mazhab, pendapat ini diikuti oleh Sufyan Ats-Tsauri, Malik, Ibnu Al-Mubarak, dan Ahmad (Asy-Syaukani, Nailul Authar).

Baca Juga: Bagaimana Cara Membayar Fidyah? Boleh Diecer Atau Sekaligus? Dengan Makanan atau Uang?

Namun, ada ulama yang berpendapat berbeda, dengan alasan bahwa jika seseorang melaksanakan shalat dua rakaat-dua rakaat setelah witir, maka shalat terakhir di malam itu tidak berjumlah ganjil, yang bertentangan dengan hadis:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْعَلُوأ آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا. [رواه الجماعة إلا ابن ماجه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar diterangkan bahwa Nabi saw bersabda: Jadikanlah yang terakhir shalatmu di waktu malam shalat witir.” [HR. al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah].

Pendapat ini secara tegas menyatakan bahwa shalat witir harus menjadi shalat terakhir di malam hari. At-Tirmidzi menyebutkan bahwa pandangan ini didukung oleh sejumlah sahabat.  

Dalam menghadapi perbedaan pendapat ini, mayoritas ulama menggunakan kaidah tarjih, yang menyatakan bahwa jika terdapat dua dalil yang bertentangan, satu menetapkan suatu amalan sebagai syariat sementara yang lain meniadakannya, maka yang lebih kuat adalah dalil yang menetapkan adanya amalan tersebut (Al-Hafnawi, At-Ta’arud wat-Tarjih ‘indal-Ushuliyyin wa Atsaruhuma fi Fiqhil-Islami, hlm. 360-361). Berdasarkan prinsip ini, kami lebih condong kepada pendapat pertama.

(Fatwa Tarjih)

[post-views]
Selaras