Jakarta, mu4.co.id – Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menyatakan bahwa negara dapat mengambil alih tanah yang dibiarkan terlantar dalam jangka waktu tertentu. Pengambilalihan ini tidak hanya berlaku untuk tanah hak guna usaha atau hak guna bangunan, tetapi juga tanah hak milik.
Hal ini diatur dalam PP Nomor 20 Tahun 2021 Pasal 7 Ayat 2, yang menyebut pengambilalihan bisa dilakukan terhadap tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah.
“Tanah hak milik menjadi objek penertiban tanah telantar jika dengan sengaja tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara sehingga:
a. Dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan;
b. Dikuasai oleh pihak lain secara terus-menerus selama 20 (dua puluh) tahun tanpa adanya hubungan hukum dengan pemegang hak; atau
c. Fungsi sosial hak atas tanah tidak terpenuhi, baik pemegang hak masih ada maupun sudah tidak ada,” bunyi pasal tersebut.
Baca Juga: Pemilik Sertifikat Tanah Terbit Sebelum 1997 Diimbau Segera Perbarui. Ini Alasannya!
Selain itu, negara juga bisa mengambil tanah berstatus hak pakai, hak pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah bila sengaja ditelantarkan dua tahun sejak penerbitan hak. PP itu juga menetapkan enam kategori objek penertiban tanah terlantar pada Pasal 6.
Daftar itu meliputi kawasan pertambangan, perkebunan, industri, pariwisata, perumahan/permukiman skala besar/terpadu, atau kawasan lain yang pengusahaan, penggunaan, dan/atau pemanfaatannya didasarkan pada izin/konsesi/perizinan berusaha yang terkait dengan pemanfaatan tanah dan ruang.
Sementara itu, tanah milik masyarakat adat dan aset bank tanah tidak termasuk dalam penertiban tanah telantar.
Menurut Nusron, proses pengambilalihan dilakukan bertahap, mulai dari peringatan hingga eksekusi, dan memakan waktu sekitar 587 hari. Pemilik tetap diberi kesempatan untuk memanfaatkan lahannya sebelum diambil alih.
“Langkah pertama adalah BPN kirim surat. Tiga bulan dikasih kesempatan. Tiga bulan masih tidak ada aktivitas, kirimi surat, peringatan pertama. Tiga bulan lagi dikirimi surat, tidak ada keterangan lagi, peringatan kedua,” jelas Nusron dikutip dari CNN, Rabu (16/7).
“Tiga bulan lagi, masih tidak ada aktivitas, dikasih kesempatan lagi, tiga bulan lagi, masih tidak ada aktivitas, dikasih waktu enam bulan untuk melakukan perundingan. Masih tidak ada aktivitas lagi, maka pemerintah menetapkan itu menjadi tanah telantar,” tambahnya.
Sebelumnya, Kementerian ATR/BPN membantah kabar bahwa negara akan merampas tanah berstatus girik atau bersertifikat pada 2026.
Dirjen PHPT, Asnaedi, menegaskan bahwa girik, verponding, dan bekas hak lama lainnya memang bukan bukti kepemilikan tanah, namun tetap bisa menjadi petunjuk atas kepemilikan atau hak adat masyarakat atas tanah.
“Kalau itu giriknya ada, tanahnya ada, ia juga tetap menguasai tanah miliknya, ya enggak ada kaitannya itu diambil oleh negara,” ujar Asnaedi melalui keterangan tertulis.
(CNN)