Media Berkemajuan

14 Desember 2024, 05:38

Apakah Imam Harus Merangkap Jadi Khatib Saat Shalat Jumat?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram
Print
Ilustrasi Khatib Khutbah
Ilustrasi Khatib Khutbah saat Shalat Jumat [Foto: mu4.co.id]

Jakarta, mu4.co.id – Kebiasaan di beberapa masjid di Indonesia, seorang khatib pada khutbah Jum’at juga merangkap sebagai imam shalat Jumat. Namun sebagian ada juga yang melakukannya dengan cara lain, yaitu imam bukanlah khatib.

Lantas haruskah imam pada shalat jumat juga merangkap sebagai khatib?

Berikut penjelasannya berdasarkan dalil-dalil yang dilansir dari tanya jawab dalam fatwatarjih.co.id, Rabu (20/11/2024), sebagai berikut :

Terdapat sebuah hadis Nabi Muhamad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ اْلجُمْعَةِ وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا. [رواه مسلم]

Artinya: “Apabila pada hari Jum’at salah seorang dari kamu datang di waktu imam sedang berkhutbah, hendaklah ia shalat dua rakaat dengan agak cepat.” [HR. Muslim]

Dari hadis tersebut terkesan secara mafhum mukhalafah bahwa yang melakukan khutbah (khatib) adalah imam juga.

Baca juga: Imam Besar Masjid Nabawi Jadi Imam dan Isi Khotbah Jumat Masjid Istiqlal, Ini Pesannya!

Kemudian dilihat dari praktek Rasulullah SAW, disamping sebagai khatib juga imam dalam shalat Jum’at, bahkan bagi shalat fardlu di Masjid Madinah bila beliau tidak berhalangan, bepergian atau sakit. Begitu pula pada masa Khalifah Rasyidin.

Hal tersebut juga sebenarnya karena Nabi Muhammad SAW sangat fasih dalam membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan juga sangat bijak dalam berkhutbah, sehingga tidak ada sahabat yang mau tampil sebagai Imam atau khatib, kalau di situ Rasulullah SAW hadir.

Kendati demikian, bila diteliti dengan cermat isi hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang sejenis dengan itu, tidak dapat menarik kesimpulan bahwa Imam harus merangkap khatib Jum’at, karena mafhum mukhalafah di situ tidak memenuhi syaratnya untuk berhujjah.

“Menurut hemat kami, mafhum mukhalafah dalam hadis itu dimaksudkan untuk keagungan atau “lit-tafkhim” saja, atau dengan lain perkataan tidak bisa diamalkan mafhum mukhalafahnya. Bahkan Abu Hanifah dan Ibnu Hazm tidak berhujjah pada mafhum mukhalafah secara mutlak. Kalau kita pakai istilah-istilah dalam kitab ushul fiqih disebutkan جمع مفاهيم المخالفة ليس بحجة (semua mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah), menurut Abu Hanifah dan Ibnu Hazm,” tulis fatwatarjih.co.id.

“Menurut pentahqiqan kami, idealnya kalau memenuhi syarat-syarat, seorang Imam seyogyanya merangkap sebagai khatib, bukan seharusnya. Jadi, kalau dipandang perlu pada suatu waktu bisa saja Imam itu tidak merangkap sebagai khatib Jum’at,” lanjutnya.

Selain itu, disebutkan juga bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi khatib dan Imam merupakan sunnah fi’liyyah, yang berarti tidak menimbulkan keharusan untuk melakukan atau mengikutinya, wallahu a’lam bishawab.

[post-views]
Selaras