Jakarta, mu4.co.id – Seorang ahli Fotogrametri dari Universitas Tun Hussein Onn Malaysia, Prof. Tono Saksono, mengungkapkan penelitiannya mengenai “fajar shadiq” (fajar yang sebenarnya), atau kemungkinan terkait penentuan waktu shalat subuh.
Dalam Podcast Youtube di Channel Forum Keadilan TV, bersama Host Darmawan Sepriyossa, Prof. Tono Saksono menyebut bahwa dirinya mulai meneliti tentang kehadiran fajar tersebut sejak tahun 2016 ketika kuliah di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr Hamka (Uhamka) di Jakarta. Ia mengumpulkan hingga 2.300 hari atau sampel data penelitian dengan teknologi canggih yang mencakup hingga 5 benua.
“Saya yakin data saya yang paling lengkap, tidak ada institusi lain yang mempunyai data fajar selengkap itu,” sebutnya dalam program podcast tersebut, dikutip, Senin (01/12/2025).
Dari penelitiannya tersebut, Prof. Tono menemukan terdapat perbedaan waktu shalat subuh di Indonesia dari waktu yang sudah ditetapkan atau yang disebut dengan fajar shadiq, yakni waktu subuh di Indonesia terlalu cepat sekitar 30 menit. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa waktu shalat subuh di Indonesia ketika matahari berada 20 derajat di bawah ufuk, sementara berdasarkan penelitiannya fajar shadiq itu ketika matahari berada 12,5 derajat di bawah ufuk.
“(Ketika matahari berada 20 derajat di bawah ufuk) di Indonesia sudah azan. Padahal 1 derajat itu matahari bergerak selama 4 menit, dan jika 20 derajat matahari bergerak dari bawah ufuk berarti 80 menit sebelum matahari terbit itu sudah azan. Namun berdasarkan data ternyata rata-rata dari seluruh dunia hanya 50 menit. Katakanlah setelah azan, kemudian iqamah 10 menit, dan shalat subuh katakanlah 10 menit, sehingga 20 menit setelah shalat selesai itu belum keluar fajar,” jelasnya.
Baca juga: Muhammadiyah Luncurkan ACMU, Ada Pengingat Waktu Shalat
Lebih lanjut Prof. Tono menyebut bahwa lebih dari 100 tahun yang lalu dimulainya penetapan waktu shalat subuh tersebut, yaitu berawal dari seorang Pastor di Italia bernama Giovanni Battista Riccioli, yang hidup pada abad ke-17. Pastor tersebut membagi fajar menjadi 3 bagian, yaitu: Fajar Astronomis (ketika matahari berada 18 derajat di bawah ufuk), Fajar Notika (ketika matahari 12 derajat di bawah ufuk), dan Fajar Sipil (ketika matahari 6 derajat di bawah ufuk), lalu matahari terbit. Dan semua muslim di dunia pun menganggap bahwa Fajar Astronomis itulah sebagai fajar shadiq.
“Di Indonesia diturunkan lagi, karena menganggap atmosfer di wilayah ekuador itu lebih tebal dari pada di wilayah eropa di Italia, jadi diturunkan lagi di Indonesia menjadi 20 derajat (dari 18 derajat),” imbuhnya.
Padahal dalam bukunya pastor dengan tebal 1.500 halaman, dikatakan bahwa ketika matahari berada 18 derajat di bawah ufuk belum ada Interferensi atau cahaya matahari di saat itu. “Jadi salah mengartikan fajar,” tambahnya.
Sementara itu, menurut Prof. Tono Fajar Shadiq sendiri ketika matahari berada di Fajar Notika (ketika naik 12 derajat di atas ufuk). Namun dalam penelitiannya, ditemukan di angka 12,5 derajat, sedikit berbeda karena sekarang menggunakan teknologi yang lebih canggih. “Apakah anda percaya dengan pastor yang hidup di abad ke-17 dengan data yang sederhana atau dengan 2.300 data saya dengan teknologi yang sekarang lebih canggih?” tanyanya.
Baca juga: Inilah Waktu Paling Afdal untuk Shalat Dhuha
Adapun ketika ditanya mengenai apa yang dilakukannya ketika mengetahui hasil penelitiannya tersebut, Prof. Tono menyebut ia sudah sering mempresentasikan hasil penelitiannya secara langsung hingga melalui video-video penjelasan penelitian itu dalam akun youtube-nya, namun tidak ada tanggapan lebih lanjut hingga saat ini.
“Saya pernah mengirimkan data penelitian saya kepada departemen agama pada bulan April tahun 2018, namun datanya dimanipulasi,” ungkapnya.
Sementara ketika ia membawa data tersebut di salah satu Komunitas Islam di Amerika Serikat, Prof. Tono menyebut hasil penelitiannya sama dengan yang ada disana. Berbeda dengan di Indonesia yang menolak hasil penelitiannya karena menurutnya masyarakat di Indonesia menolak data yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang ada, atau menganggap para ulama terdahulu selalu benar (maksum).
Prof. Tono pun menyebut yang dapat dilakukan saat ini ialah dengan memundurkan iqamah setelah azan shalat subuh sekitar 20 menit. Dirinya mengatakan terdapat sejumlah masjid yang sudah melakukannya. “Jadi upaya saya sudah maksimal lah untuk memberikan informasi itu, mengajak orang-orang untuk bersama berfikir tentang hal ini,” sebutnya.
Dirinya pun mengajak semua pihak baik pemerintah maupun ormas islam untuk berjuang bersma-sama memperbaiki kualitas ibadah umat islam, dan meneliti ke lapangan terkait kebenaran datanya tersebut. “Berilah saya kekuatan untuk memperbaiki kualitas ibadah umat islam, karena ini menurut saya sangat serius sekali,” pungkasnya.















