Jakarta, mu4.co.id – Pemerintah akan menerapkan kebijakan pengetatan barang impor khususnya pada produk atau barang konsumsi di antaranya arus barang impor melalui retail online crossborder, importasi biasa, dan jasa titip (jastip).
Kebijakan ini diambil guna menjaga pasar dalam negeri dari serbuan barang impor yang sering dikeluhkan para pedagang.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan para menteri melakukan pengawasan dan pengetatan serbuan barang impor. Termasuk pengawasan barang impor yang masuk lewat jastip.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan impor barang jastip akan diperketat pengawasannya di pelabuhan, bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Untuk barang impor lewat jastip harga di atas US$500 atau setara Rp 7,8 juta (kurs Rp15.629) akan dikenakan pajak bea masuk (BM).
Baca juga: Diserbu Tekstil Impor, 28.480 Kontainer Masuk Jalur Ilegal
“Jangan sampai ada orang yang kerjanya bolak-balik hanya untuk impor jasa barang titipan,” kata Airlangga usai rapat internal dengan sejumlah menteri di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (6/10/2023).
Ia juga menambahkan, dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga sudah membuat regulasi untuk batas barang impor jastip yang dikenakan pajak Bea Masuk.
“Kementerian Keuangan sudah membuat regulasi untuk jarak barang titipan itu yang bebas di bawah US$ 500, yang sisanya tentu dikenakan bea masuk,” kata Airlangga.
Untuk membatasi arus barang impor murah, Airlangga menyebutkan ada usulan untuk pembentukan Satuan Tugas pengawasan yang terdiri dari Kepolisian, Bea Cukai, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, hingga Badan Karantina.
Juga penguatan pengawasan perdagangan digital dan kelembagaan melalui Badan Perlindungan Konsumen hingga KPPU.
Baca juga: Impor Baju Bekas Dilarang, Bea Cukai Gandeng Kemenhub dan Pemda Perketat Pengawasan
“Agar bisa menjaga unfair practice tetapi di sektor digital dan juga pengenaan semua standar baik SNI, BPOM, maupun sertifikasi halal untuk sektor e-commerce,” jelasnya dikutip dari CNBC Indonesia.
Sumber: suarapemerintah.id