Jakarta, mu4.co.id – Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pembahasan upah minimum provinsi (UMP) 2026 sudah rampung, pihaknya menargetkan pengumuman dilakukan sebelum 31 Desember 2025, namun hingga kini belum ada tanggal resmi yang dikeluarkan.
“Regulasi (UMP 2026) sudah diparaf (ditandatangani),” kata Menko Airlangga, Sabtu (06/12/2025).
Penetapan UMP 2026 menjadi salah satu keputusan penting menjelang tahun baru, khususnya bagi jutaan pekerja yang menantikan kepastian upah, serta bagi pelaku usaha yang membutuhkan acuan perencanaan anggaran tahun depan.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli mengatakan bahwa rumus perhitungan UMP 2026 ditetapkan berdasarkan regulasi yang sudah ada, yakni PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Namun ia mengatakan akan ada penyesuaian nilai alpha atau indeks tertentu yang memperhitungkan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan kebutuhan hidup layak.
Nilai alpha sebelumnya ditetapkan dalam rentang 0,10 sampai dengan 0,30. Dengan menggunakan formula tersebut, menjadi pembeda antara kenaikan UMP 2026 dengan UMP 2025 yang mencapai 6,5%, dan kenaikan UMP di setiap provinsi ke depannya juga akan berbeda.
“Formula sudah jelas ya, formula itu kan kita mengacu pada sudah ada regulasinya, tinggal nanti range-nya terkait dengan alpha berapa. Ini yang masih menunggu finalisasi,” ujar Yassierli, Jumat (28/11/2025).
Berkaitan dengan itu, Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea merasa pesimis kenaikan UMP 2026 lebih tinggi atau minimal setara dengan kenaikan UMP 2025 yang mencapai 6,5 %. Ia mendapatkan informasi bahwa kenaikan UMP 2026 lebih rendah dibandingkan UMP 2025 yang naik 6,5 %.
“Bocoran 2 hari dari sumber yang sangat terpercaya, memang kalkulasi upahnya menurun. Tetapi kan ini belum pasti, sumbernya dari mana kalkulasi angka ini? Dari ada pertumbuhan ekonomi ditambah A (alfa) dan lain-lain,” jelasnya.
Di samping itu, Andi juga menyoroti berbagai simulasi yang beredar di kalangan pekerja belum dapat dipastikan kebenarannya, terutama karena pemerintah tiba-tiba menggunakan pendekatan perhitungan dari International Labour Organization (ILO) yang sebelumnya tidak pernah dipakai di Indonesia, dan umumnya diterapkan oleh negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sudah sangat maju.
“Perhitungan ILO itu biasa digunakan oleh negara yang pertumbuhan ekonominya sudah sangat maju,” katanya.
(inilah.com)












