Media Utama Terpercaya

30 Oktober 2025, 00:25
Search

Tolak Legalisasi Umrah Mandiri, Amphuri Siapkan Langkah Hukum ke MK, Ini 3 Alasannya!

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram
Print
Amphuri
Amphuri Tolak Legalisasi Umrah Mandiri [Foto: amphuri.org]

Jakarta, mu4.co.id – Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) akan melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025, yang melegalkan umrah mandiri atau tanpa melalui biro Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang terdaftar resmi di Indonesia.

Pihaknya memandang pengesahan UU Nomor 14 Tahun 2025 telah menimbulkan guncangan di sektor penyelenggaraan umrah, dan berpotensi menggoyang keseimbangan antara negara, pelaku usaha, dan jemaah.

“Tidak semua guncangan datang dari tanah Arab. Kadang justru dari meja sidang Senayan,” ujar Ketua Bidang Peneltian dan Pengembangan (Litbang) Dewan Pimpinan Pusat Amphuri, Ulul Albab, Selasa (28/10/2025).

Baca juga: Biaya Haji 2026 Turun Rp1 Juta dari Tahun Sebelumnya. Berapa yang Harus Dibayar Jemaah?

Ulul mencurigai adanya potensi ketimpangan kebijakan dari legalisasi umrah mandiri. Kalangan PPIU merasa diabaikan oleh negara. “Apakah negara masih percaya kepada kami?” ucapnya.

Pihaknya pun menjelaskan terdapat tiga aspek yang menjadi sorotan terkait Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2025. Pertama, menurutnya, dari sisi konstitusionalitas pasal terkait umrah mandiri dinilai berpotensi melanggar Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tentang hak warga negara atas perlindungan dan kepastian hukum.

“Ketika ibadah lintas negara dilepaskan kepada individu tanpa mekanisme perlindungan yang memadai, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi penipuan atau keterlantaran jamaah?” katanya.

Kedua, dari sisi kelembagaan, negara seolah menyerahkan tanggung jawab kepada individu. Padahal, kata Ulul, umrah bukan sekadar perjalanan wisata spiritual, melainkan ibadah lintas yurisdiksi yang penuh risiko dan menyangkut reputasi bangsa. Dan ketiga, dari sisi tata kelola kebijakan, UU ini tampak lebih responsif terhadap Saudi Vision 2030 ketimbang visi Indonesia 2045.

“Negara seperti terlalu cepat menyesuaikan diri dengan pasar global, tapi lupa menyiapkan fondasi domestik yang kokoh,” jelas Ulul.

Ulul pun menegaskan bahwa hal tersebut dilakukan bukanlah sebentuk perlawanan terhadap negara, melainkan upaya koreksi terhadap proses legislasi yang dinilai terburu-buru dan kurang inklusif. “UU ini lahir tanpa public policy assessment yang memadai. Tidak ada kajian dampak regulasi terhadap jamaah, industri, maupun sistem keuangan syariah yang menopang sektor ini,” katanya.
(republika.co.id)

[post-views]
Selaras