Jakarta, mu4.co.id – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan bahwa perguruan tinggi adalah pendidikan tersier bukan pendidikan wajib, setelah ramainya kritikan dari mahasiswa di berbagai daerah tentang tingginya Uang Kuliah Tinggal (UKT) perkuliahan.
Kemendikbudristek juga mengatakan bahwa biaya pendidikan di perguruan tinggi tidak bisa digratiskan. Karena pemerintah hanya memfokuskan untuk program wajib belajar12 tahun yakni SD, SMP, dan SMA sederajat.
“Sebenarnya ini tanggungan biaya yang harus dipenuhi agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu, tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar,” papar Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, Rabu (15/05/2024).
Lebih lanjut Tjitjik mengatakan bahwa lulusan SMA atau sederajat yang ingin masuk ke perguruan tinggi adalah suatu pilihan. “Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK, itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib. Berbeda dengan wajib belajar yang SD, SMP, begitu, ya,” tambahnya.
Baca juga: Kemendikbudristek Beri Kemudahan Untuk Penerimaan Peserta Didik Baru. Apa Itu?
Pernyataan Kemendikbudristek itupun dikritik oleh sejumlah pihak, seperti Koordinator Nasional Jaringan Pemerhati Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji yang menilai bahwa pernyataan tersebut salah.
“Pernyataan Ibu Tjitjik mampu melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. Dengan tegas, Ibu Tjitjik menyatakan bahwa pendidikan tinggi (PT) adalah kebutuhan tersier. Itu salah besar,” kata Ubaid, Jumat (17/05/2024).
Ubaid mengatakan jika pendidikan tinggi itu tersier berarti negara lepas tangan soal pembiayaan pendidikan tinggi. Padahal menurutnya pendidikan merupakan amanat konstitusi yang menyatakan bahwa berdirinya NKRI adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di sisi lain, ia juga menyebut bahwa pendidikan dasar dan menengah yang merupakan program wajib belajar 12 tahun juga masih belum sepenuhnya memberantas populasi Anak Tidak Sekolah (ATS) sampai saat ini. Dan untuk diketahui berdasarkan data BPS, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia baru sekitar 10%, yang mana jauh sangat rendah jika dibandingkan dengan Jepang atau Korea Selatan yang lebih dari 50%.
Baca juga: Aturan Baru! Nadiem Umumkan Mahasiswa S1 Kini Tidak Diwajibkan Membuat Skripsi
Kritikan serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian. Ia tidak sependapat dengan pandangan pemerintah yang melihat pendidikan tinggi bersifat tersier atau tidak wajib.
“Sangat disesalkan. Saya kira tidak semestinya pemerintah menyampaikan pernyataan seperti itu. Secara normatif memang wajib belajar hanya sampai tingkat sekolah menengah. Namun ini batas minimal pemenuhan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negara,” kata Hetifah, Jumat (17/05/2024).
Selain itu, menurutnya sebaliknya pemerintah harus responsif menyambut keinginan masyarakat yang tinggi terhadap pendidikan. “Apabila hasrat masyarakat untuk memajukan diri melalui pendidikan tinggi semakin meningkat, seharusnya pemerintah responsif untuk menyaraninya dengan kebijakan yang sesuai,” jelas dia.
Dirinya juga mengatakan semestinya pemerintah membagi rata anggaran negara kepada seluruh sektor penting, termasuk pendidikan. “Saat ini anggaran negara terlalu terfokus pada sektor kesehatan, infrastruktur, penanggulangan stunting, serta pendidikan dasar dan menengah. Sementara biaya pendidikan terabaikan,” nilai Hetifah.
Untuk itu, dirinya mengingatkan Kemendikbudristek agar menjadi kementerian yang terdepan memastikan anggaran negara 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikan tinggi yang bukan hanya standar minimal. Terlebih lagi menurutnya, fakta-fakta yang ada saat ini adalah banyak lapangan pekerjaan yang mensyaratkan lulusan Sarjana atau S1.
Sumber: kumparan.com, detik.com, kompas.com