Media Utama Terpercaya

1 Agustus 2025, 01:23
Search

Putar Musik di Ruang Komersial? Kini Wajib Bayar Royalti!

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram
Print
Royalti
Ilustrasi. [Foto: iStockPhoto]

Jakarta, mu4.co.id – Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menyampaikan bahwa pelaku usaha yang memutar musik lokal maupun luar negeri di ruang komersial diwajibkan membayar royalti kepada pencipta dan pemegang hak terkait, sesuai undang-undang.

Dalam forum WIPO General Assembly di Jenewa, Supratman mengusulkan agar platform internasional turut membayar royalti atas musik Indonesia.

“Tapi intinya, sekarang kita kan lagi berjuang. Bagaimana orang, namanya kekayaan intelektual. Jadi kalau kekayaan intelektual itu kan, baik itu ciptaan maupun yang lain, itu bisa ada nilai keekonomiannya. Dan itu harus kita hargai. Ya kan? Kita harus hargai,” ujar Supratman, dikutip dari Kompas, Kamis (31/7).

Sebelumnya, DJKI Kementerian Hukum menegaskan pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik seperti restoran, kafe, toko, gym, dan hotel wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak. 

Baca Juga: Putar Lagu Tanpa Izin, Pemilik RM Mie Gacoan Bali Dituntut Bayar Royalti!

Aturan ini tetap berlaku meski mereka berlangganan layanan streaming seperti Spotify atau YouTube Premium, karena langganan pribadi tidak mencakup pemakaian komersial.

“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” ucap Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko.

Agung menjelaskan bahwa pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai UU Hak Cipta dan PP 56/2021. 

LMKN mengumpulkan dan mendistribusikan royalti kepada pencipta dan pemilik hak, sehingga prosesnya transparan, adil, dan memudahkan pelaku usaha tanpa perlu mengurus lisensi satu per satu.

“Hal ini memberikan keseimbangan agar pencipta atau pemilik hak terkait musik/lagu mendapatkan hak ekonominya serta pengguna merasa nyaman dalam berusaha atau menggunakan lagu,” katanya.

Agung juga menegaskan bahwa meskipun pelaku usaha memilih memutar musik instrumental bebas lisensi atau lagu dari luar negeri, mereka tetap harus berhati-hati dalam penggunaannya.

“Tidak semua musik instrumental bebas dari perlindungan hak cipta. Beberapa lagu yang diklaim ‘no copyright’ justru bisa menjerat pelaku usaha dalam pelanggaran apabila digunakan tanpa verifikasi sumber. Termasuk lagu luar negeri jika mereka dilindungi hak cipta, kewajiban royalti tetap berlaku,” jelas Agung.

Baca Juga: Ada Padel, Tempat Latihan Olahraga di Jakarta Bakal Dikenakan Pajak. Apa Saja?

Agung menjelaskan bahwa pelaku usaha yang tidak memiliki anggaran untuk membayar royalti bisa memilih musik bebas lisensi, musik berlisensi Creative Commons untuk penggunaan komersial, memutar karya sendiri, menggunakan suara alam, atau bekerja sama dengan musisi independen yang memberi izin gratis. 

Pembayaran royalti dilakukan dengan mendaftarkan usaha melalui sistem digital LMKN, sesuai klasifikasi dan luas ruang pemutaran musik. 

Sistem ini juga sudah lama diterapkan di negara seperti AS, Jepang, Inggris, dan Korea Selatan.

“Namun tujuan Indonesia bukan untuk menambah pemasukan negara, melainkan memberikan kepastian hukum serta memastikan bahwa pelaku industri kreatif mendapatkan hak ekonominya secara adil,” terangnya.

DJKI juga memastikan UMKM mendapat keringanan atau pembebasan tarif royalti sesuai ketentuan LMKN berdasarkan ukuran usaha, kapasitas pengunjung, dan pemanfaatan musik. 

Agung mengingatkan pelanggaran pembayaran royalti dapat dikenakan sanksi hukum, namun wajib melalui mediasi terlebih dahulu sesuai Pasal 95 ayat 4 UU Hak Cipta.

“Pelindungan hak cipta bukan semata soal kewajiban hukum, tapi bentuk penghargaan nyata terhadap kerja keras para pencipta yang memberi nilai tambah pada pengalaman usaha Anda,” ucapnya.

(Kompas)

[post-views]
Selaras