Jakarta, mu4.co.id – Perdebatan soal kewajiban pembayaran royalti musik di sektor usaha seperti kafe dan restoran kembali mencuat ke permukaan. Ketua Umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), M. Rafiq, menegaskan bahwa pemilik tempat usaha tetap wajib membayar royalti meskipun musik yang diputar berasal dari siaran radio. Royalti tersebut dibayarkan kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai bentuk penghargaan terhadap hak cipta musisi.
Pernyataan M. Rafiq ini sekaligus menanggapi pendapat yang disampaikan oleh Ketua Asosiasi Music Director Indonesia (AMDI), Awan Yudha. Sebelumnya, Awan menyatakan bahwa pelaku usaha yang memutar siaran radio seharusnya dibebaskan dari kewajiban membayar royalti, karena stasiun radio telah memenuhi kewajiban tersebut saat membayar hak siar.
Namun, Rafiq memiliki pandangan yang berbeda secara prinsipil. Ia menilai bahwa baik pemutaran musik dari siaran radio maupun dari platform digital seperti YouTube atau Spotify tetap termasuk penggunaan komersial. Oleh karena itu, pemilik usaha yang memanfaatkan musik sebagai bagian dari daya tarik bisnis tetap harus membayar royalti.
“Menurut saya kurang tepat kalau tidak membayar. Misalnya restoran memutar YouTube atau Spotify, itu tetap wajib bayar royalti,” ujar Rafiq dilansir dari Suara Surabaya, Kamis (7/8/2025). Ia menegaskan bahwa penggunaan musik di ruang usaha bukan bagian dari hak siar, melainkan penggunaan ulang untuk kepentingan komersial.
Baca juga: AMDI: Putar Radio Bisa Jadi Solusi, Ketika Putar Lagu di Kafe dan Restoran Wajib Bayar Royalti!
Rafiq menjelaskan bahwa royalti yang dibayarkan oleh stasiun radio sebenarnya hanya mencakup hak untuk menyiarkan lagu kepada publik melalui saluran udara, bukan untuk mendukung penggunaan ulang oleh pihak ketiga. Maka dari itu, meski sebuah lagu telah diputar melalui radio, pelaku usaha yang memanfaatkannya untuk hiburan pelanggan tetap tidak bebas dari kewajiban royalti.
Lebih lanjut, Rafiq juga mengungkap bahwa mayoritas stasiun radio di Indonesia hingga kini belum menyelesaikan kewajiban pembayaran royalti. Hal ini disebabkan oleh proses internal yang sedang berlangsung di tubuh PRSSNI untuk menyusun skema pembayaran yang tepat dan adil bagi semua pihak.
“Radio yang diputar di kafe itu kebanyakan belum bayar royalti. Kami di PRSSNI masih memperjuangkan bagaimana skema yang paling cocok,” ungkap Rafiq. Situasi ini menambah kompleksitas persoalan royalti yang belum sepenuhnya terselesaikan antara industri penyiaran dan pelaku usaha komersial.
Baca juga: LMKN Tegaskan Memutar Suara Burung, Alam atau Instrumental di Restoran Tetap Wajib Bayar Royalti!
Sebagai ilustrasi, Rafiq memberikan contoh hipotetik. Jika sebuah stasiun radio membuka restoran sendiri dan memutar siaran radionya di tempat tersebut, restoran itu tetap wajib membayar royalti kepada LMKN. Perhitungannya pun berdasarkan kapasitas tempat usaha, seperti jumlah kursi yang tersedia.
“Misalnya radio punya restoran, tetap harus bayar. Perhitungannya berdasarkan jumlah kursi. Karena yang dibayar itu royalti atas lagu, bukan untuk siaran atau acara seminar milik radio itu sendiri,” jelasnya.
Sementara itu, Awan Yudha, Ketua AMDI, sehari sebelumnya menekankan bahwa industri radio sebenarnya telah memiliki mekanisme pembayaran royalti melalui koordinasi PRSSNI. Ia menyarankan, jika diperlukan, bisa dijalin bentuk kerja sama antara stasiun radio dengan tempat usaha untuk menghindari beban ganda dalam hal pembayaran royalti.