Jakarta, mu4.co.id – Profesor riset astronomi dan astrofisika dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, mengkritik peluncuran Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT).
Thomas menilai pemakaian kalender yang diterapkan mulai awal tahun baru dalam kalender Islam atau 1 Muharam 1447 Hijriah itu akan berpotensi makin sering membuat perbedaan di Indonesia.
“Kalender Hijriah Global itu hanya mengakomodasi pengamal hisab dan mengabaikan pengamal rukyat, maka perbedaan tetap akan terjadi di tingkat lokal, nasional, maupun global,” katanya, dilansir dari Tempo, Kamis (26/06/2025).
Diketahui tahun baru Islam 1447 Hijriah versi KHGT jatuh pada 26 Juni 2025, sedangkan pemerintah dan sebagian besar organisasi kemasyarakatan Islam menggunakan kriteria baru yang disepakati para menteri agama dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura atau disingkat Mabims, dimana pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai hari libur nasional pada 27 Juni 2025.
Menjawab hal tersebut, Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang menggunakan KHGT pun menjawab kritikan itu. Salah satu kritik yang dijawab yaitu mengenai Kalender Hijriah Global yang dianggap memaksa wilayah tertentu memasuki bulan baru meski hilal belum terlihat, atau menunda wilayah lain yang telah melihat hilal demi keseragaman global, terutama saat hilal masih di bawah ufuk di wilayah timur.
Pakar falak Muhammadiyah, Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar menjawab kritik tersebut dalam agumen saintifik yang dirangkum menjadi beberapa poin meliputi:
Fase-fase bulan termasuk hilal adalah fenomena global, sedangkan ketampakan hilal bersifat lokal. Artinya, meskipun hilal tidak terlihat di suatu wilayah karena posisinya di bawah ufuk, hilal tetap eksis secara astronomis setelah terjadinya konjungsi (ijtima’).
Konjungsi, sebagai titik akhir siklus bulan, menandakan awal keberadaan hilal, meskipun belum terlihat secara kasat mata. Dengan demikian, hilal yang berada di bawah ufuk tetap dianggap sebagai hilal yang definitif dalam konteks matlak global.
Perubahan fase bulan berkorelasi dengan elongasi, yaitu jarak sudut antara Matahari dan Bulan, yang dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan sudut kedua benda langit tersebut. Setelah konjungsi, elongasi terus bertambah seiring waktu, sehingga hilal yang awalnya berada di bawah ufuk di suatu wilayah akan terus membesar dan menjadi terlihat di wilayah lain. Dalam matlak global, jika imkanu rukyat terpenuhi di satu tempat, maka hilal dianggap eksis secara global meskipun di wilayah lain posisi hilal masih di bawah ufuk.