Jakarta, mu4.co.id – Masyarakat tengah ramai membahas mengenai pewarna Karmin, yang biasa dijadikan sebagai bahan membuat makanan dan minuman. Pewarna Karmin sendiri merupakan pewarna yang berasal dari bangkai serangga yaitu sejenis ulat yang bernama Karmin berwarna merah, yang biasa hinggap di Pohon Kaktus, yang kemudian dikeringkan, sebelum diolah menjadi pewarna minuman atau makanan.
Berdasarkan 4 madzhab yaitu, Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki, semuanya sepakat menyatakan bahwa pewarna Karmin yang berasal dari bangkai serangga tersebut hukumnya suci dan tidak mengandung unsur najis. Mereka berpendapat bahwa bangkai hewan yang tidak memiliki darah seperti serangga, statusnya tidak najis, demikian pula kotorannya.
Menurut Madzhab Hambali dalam kitab Al Mughni dijelaskan:
“Binatang yang tidak memiliki darah merah mengalir, dia suci, sekaligus semua bagian tubuhnya, dan yang keluar dari tubuhnya,” (al-Mughni, 3/252)
Hal yang sama juga disampaikan dalam An-Nihayah Madzhab Syafi:
“Dikecualikan dari benda najis (tidak termasuk najis), bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir ketika dilukai, baik karena tidak memiliki darah sama sekali atau memiliki darah, namun tidak mengalir,” (Nihayah al-Muhtaj, 1/237).

Sementara itu, pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), berbeda pendapat mengenai hal ini.
Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011 disebutkan, pewarna makanan dan minuman yang berasal dari cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menilai, pewarna alami Karmin ini berasal dari serangga yang hidupnya diatas kaktus dan memperoleh nutrisi dari tanaman, bukan dari bahan yang kotor. “Hewan ini mempunyai banyak persamaan dengan belalang, termasuk darahnya yang tidak mengalir,” terang Kiai Niam.
Sementara Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Jawa Timur, menyatakan bahwa pewarna alami Karmin najis dan menjijikkan, yang termuat dalam pernyataan resmi PWNU Jawa Timur tentang fatwa haram pemakaian pewarna alami Karmin. Alasannya dikarenakan zat yang dihasilkan berasal dari bangkai hewan yang hinggap di Kaktus.
Selain itu, diselidiki pewarna Karmin juga mengandung alkohol asam untuk menguatkan warna. Hal inilah yang membuat Ketua PWNU Jawa Timur, KH Marzuqi Mustamar mengharamkan pewarna Karmin, dan mengimbau masyarakat khususnya warga Nahdliyin untuk tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung Karmin.
Sebelumnya juga diberitakan, media sosial dihebohkan dengan kabar Yogurt merah dan dan minuman Yakult merah disarankan untuk tidak dikonsumsi, karena mengandung Karmin yang diharamkan dan najis.
Baca juga: Aktivis LGBT Se-ASEAN Akan Gelar Pertemuan di Jakarta. Begini Reaksi MUI
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Marzuqi Mustamar mengatakan, “Zat pewarna merah pada minuman Yakult merah menggunakan ulat Karmin dan diberi kode 120,” Ahad (24/09/2023).
Kiai Niam menilai, keputusan LBM NU Jawa Timur yang memfatwakan tentang pewarna alami Karmin tersebut merupakan proses ijtihad yang perlu dihormati. Ia menjelaskan, fatwa MUI dan LBM NU berbeda lantaran adanya sudut pandang dari Tashawwur masalah.
Mengingat, MUI menggunakan pendekatan Tahqiqul Manath dengan memeriksa detail jenis hewan yang digunakan sebagai pewarna. Sedangkan, LBM NU menilai hukum serangga secara umum.
Sumber: sumeks.co