Yogyakarta, mu4.co.id – Fahrul Nurkolis, S.Si, memiliki motivasi bahwa penelitian harus dapat mengatasi masalah yang ada di masyarakat untuk terus meneliti di bidang ilmunya.
Berkat penelitian tersebut, alumnus Program Studi Biologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memperoleh paten untuk senyawa antidiabetes dan antikanker.
Paten ini diterima pada 24 November 2024 dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum Republik Indonesia, yang memberikan hak atas invensi Peptida Pudjialanine Rudyline dari tanaman Anggur Laut sebagai obat diabetes.
“Paten untuk invensi tersebut diberikan selama 10 tahun sejak tanggal penerimaan, yakni 24 November 2024,” ungkap Fahrul dikutip dari Kompas, Ahad (23/3).
Fahrul mengungkapkan bahwa sejak menjadi mahasiswa, ia aktif mengikuti konferensi internasional dan membangun jejaring global.
Baca Juga: 8 Dosen dan Mahasiswa Unpad Berhasil Masuk Ilmuwan Teratas Dunia, Ini Nama-namanya!
Kerja kerasnya membawanya menjadi delegasi termuda di Nordic Nutrition Conference, Finlandia. Fahrul Nurkolis juga menerima penghargaan dari Ikatan Dokter Indonesia atas inovasi risetnya.
“Sains bukan sekadar teori, tetapi juga harus berdampak nyata,” ujar peneliti muda di UIN Sunan Kalijaga ini.
Dia menyebutkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam luar biasa yang dapat dijadikan obat untuk berbagai penyakit, namun tantangannya adalah mengolahnya menjadi inovasi medis yang berdampak global.
“Penelitian senyawa antikanker dan antidiabetes berasal dari bahan alam Indonesia, seperti Echinacea purpurea, Anggur Laut, dan Bawang Dayak,” ucap pria asal Madiun ini.
Echinacea purpurea dibudidayakan di Indonesia, sementara Anggur Laut banyak ditemukan di wilayah pesisir.
Bawang Dayak, tanaman asli Kalimantan, tersedia dalam jumlah banyak untuk pengembangan lebih lanjut.
Senyawa bioaktif dari tanaman-tanaman ini berpotensi mencegah kanker dengan cara menghambat proliferasi sel kanker, menginduksi apoptosis, atau menghalangi jalur sinyal kanker.
Bawang Dayak atau Eleutherine bulbosa diketahui mengandung senyawa seperti eleutherin, isoeleutherin, dan flavonoid, yang telah terbukti memiliki aktivitas antikanker dan antidiabetes.
“Saat ini perkembangan penelitian yang sedang berlangsung,riset saat ini berada pada tahap karakterisasi senyawa baru,” tuturnya.
Fahrul yakin penelitian ini memiliki potensi besar untuk menghasilkan obat berbasis bahan alam Indonesia. Dia dan tim akan mengoptimalkan proses isolasi, melakukan validasi biologis lebih lanjut, dan menjajaki kemitraan dengan industri farmasi, yang diperkirakan akan memakan waktu beberapa tahun.
Fahrul menyebutkan bahwa tantangan terbesar dalam hilirisasi riset farmasi berbasis bahan alam di Indonesia adalah kurangnya infrastruktur, regulasi, dan pendanaan untuk mengembangkan riset menjadi produk siap pasar.
Kendala lainnya termasuk minimnya investasi dari industri farmasi untuk riset dan pengembangan (R&D), serta kompleksitas regulasi perizinan untuk sertifikasi produk berbahan alam.
Pendanaan untuk uji klinis dan pengembangan produk farmasi terbatas, dan kolaborasi antara akademisi, industri, serta pemerintah masih kurang. Banyak penelitian hebat dari ilmuwan Indonesia, tetapi hanya sedikit yang masuk ke industri dan digunakan masyarakat. Namun, jika ekosistem riset yang mendukung hilirisasi bisa dibangun, Indonesia bisa menjadi pusat riset farmasi berbasis bahan alam dan pemain utama dalam industri farmasi global.
“Solusi utama dalam mengatasi hambatan ini adalah meningkatkan kerja sama antara akademisi, industri, dan pemerintah,” kata Fahrul.
Dengan dukungan yang tepat, riset universitas tidak hanya berakhir sebagai laporan ilmiah, tetapi bisa berkembang menjadi produk farmasi bernilai ekonomi tinggi.
Fahrul memiliki impian menjadikan Indonesia sebagai pusat pengembangan obat berbasis bahan alam yang diakui dunia, mengingat Indonesia kaya akan sumber daya alam dan ilmuwan berbakat. Jika kendala hilirisasi riset dapat diatasi, Indonesia berpotensi menjadi pemimpin global dalam industri farmasi berbahan alam.
“Untuk mencapai visi tersebut, diperlukan sinergi antara akademisi, industri, dan pemerintah dalam membangun sistem riset yang lebih kuat dan berorientasi pada hilirisasi,” pungkas Fahrul.
(Kompas)