Media Utama Terpercaya

12 Juli 2025, 12:45
Search

MUI Jatim Keluarkan Fatwa “Sound Horeg” Haram. Apa Alasannya?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram
Print
Sound Horeg
MUI Jatim Keluarkan Fatwa Sound Horeg [Foto: kabartrenggalek.com]

Surabaya, mu4.co.id – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur baru-baru ini mengeluarkan fatwa mengenai hukum “sound horeg” haram, yang mengacu pada sebuah fatwa yang keluar dari Syekh Syamsuddin tentang keharaman memainkan dan mendengarkan alat musik yang mendorong kemaksiatan.

Artinya: “Dan haram menggunakan alat musik yang menjadi ciri khas para peminum khamr, seperti tunbur (dengan dhammah pada huruf pertama), ‘ud, rabab, santir, jank, dan kamanjah, serta sanj (dengan fathah pada huruf pertama), yaitu sebuah alat dari kuningan (logam) yang dipasang senar di atasnya lalu dipukul, atau berupa dua lempengan kuningan yang satu dipukulkan ke yang lainnya. Keduanya hukumnya haram. Juga mizmar ‘Iraqi (seruling khas Irak), serta seluruh jenis alat musik berdawai dan seruling. Demikian pula haram mendengarkannya, karena kenikmatan yang diperoleh dari alat-alat itu mendorong kepada kerusakan, seperti halnya minum khamr, terutama bagi orang yang masih baru bertobat atau dekat masanya dengan kemaksiatan.” (Syekh Syamsuddin al-Ramli, Nihayatul Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, tt], juz 8 halaman 296).

Untuk diketahui, Istilah sound horeg sendiri merujuk pada sebuah pertunjukan karnaval yang menyajikan rangkaian sound system dengan beragam jenis yang ditempatkan di atas truk, disetel dengan suara yang sangat kencang. Kegiatan itu biasanya juga diikuti oleh puluhan hingga ratusan orang yang ikut dalam arak-arakan sound horeg. Sebagian besar dari pengiring-pengiring tersebut biasanya ikut berjoget untuk meramaikan musik yang diputar.

Baca juga: MUI Nyatakan Domino Halal, Boleh Dimainkan Asal…

Selain itu, unsur lain yang menjadi dasar haramnya sound horeg adalah bercampurnya antara laki-laki dan perempuan. Dalam arak-arakan sound horeg, biasanya pengiring dari laki-laki dan perempuan akan berjoget bebas tanpa ada batasan apapun.

Syekh Abu Bakar Syata menjelaskan yang artinya: “Berkumpul pada malam Arafah atau di Muzdalifah, berkumpul pada malam-malam khataman Al-Qur’an di akhir bulan Ramadhan, serta mendirikan mimbar dan berkhutbah di atasnya. Semua itu hukumnya makruh selama tidak terjadi percampuran laki-laki dan perempuan hingga tubuh-tubuh mereka saling bersentuhan. Namun apabila terjadi hal demikian, maka hukumnya adalah haram dan termasuk kefasikan.” (Syekh Abu Bakar Syatha, Hasyiyah l’anah ath-Thalibin, [Maktabah Syamilah, tt] juz 1 halaman 313).

Meski demikan, fatwa haramnya sound horeg itu pun menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Fatwa tersebut juga menimbulkan diskusi yang lebih dalam antar ahli hukum Islam.

Menanggapi isu tersebut, Akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya, M. Febriyanto Firman Wijaya pun mengatakan jika pelarangan adanya sound horeg sebaiknya dapat ditinjau dari berbagai prespektif. Ia juga mengatakan penting untuk menghindari pendekatan ekstrem dalam mengeluarkan fatwa. Sebaliknya, MUI harus bersikap moderat dan arif dalam menyikapi hiburan di masyarakat.

“Sound horeg bukan semata soal kebisingan, tapi juga bagian dari ekspresi budaya dan seni yang hidup dalam masyarakat. Pelarangan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai ini bisa menjadi keputusan yang tidak seimbang,” ucapnya.

“Kita butuh pendekatan yang tidak hanya normatif, tapi juga kontekstual dan humanis. Jangan sampai fatwa menjadi alat pemisah antara nilai agama dan budaya yang sebenarnya bisa bersinergi,” lanjutnya.

Sejumlah pihak pun juga menilai bahwa fatwa haram sound horeg merupakan tindakan yang terlalu ekstrem. Perlu pertimbangan khusus yang lebih moderat untuk menyikapi fenomena yang sedang berkembang di masyarakat tersebut.
(merdeka.com)

[post-views]
Selaras