Banjarmasin, mu4.co.id – Ikan Sidat, salah satu jenis ikan asal Indonesia yang memiliki potensi gizi melebihi ikan salmon yang selama ini dianggap sumber nutrisi premium. Hal ini diungkapkan dalam sebuah seminar di Unpad, Jatinangor, Kamis (13/11/2025) oleh Gadis Sri Haryani, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Di jepang, ikan dengan nama lain Anguilla spp. ini sangat diminati, karena ternyata kaya akan vitamin A, B kompleks, zat besi, protein, kalori, dan fosfor, bahkan kandungan yang paling menonjol adalah omega-3 (DHA dan EPA).
DHA (asam dokosaheksaenoat) berfungsi penting dalam perkembangan dan fungsi otak. Sementara EPA (asam eicosapentaenoat) membantu menjaga kesehatan jantung dan mengurangi peradangan.
Gadis menjelaskan kandungan nutrisi yang dimiliki ikan dengan bentuk mirip seperti belut ini melebihi ikan salmon gabus. Ini menjadikan Sidat merupakan komditas bernilai tinggi dan dapat dikembangkan lebih lanjut.
Baca juga: Habibie Prize 2025 Kembali Digelar, Ini 5 Ilmuwan yang Mendapat Penghargaan!
“Selama ini, kita selalu mengira salmon yang paling tinggi, ternyata sidat justru memiliki nilai gizi tertinggi,” ujar Gadis dikutip dari laman resmi BRIN, Rabu (3/12).
Meskipun memiliki gizi yang tinggi dan potensi ekonomi, tapi ancaman serius terkait kelestarian populasinya karena siklus hidupnya yang melibatkan tiga ekosistem mulai dari laut, estuari, dan air tawar sehingga rawan mendapat gangguan, siklus hidup ini disebut Katadromus.
“Katadromus artinya dia ketika telur dan menetas di laut menjadi leptocephalus atau larva belut yang unik, memiliki bentuk pipih, transparan, dan seperti daun serta tidak punya kemampuan berenang,” kata Gadis menerangkan kompleksitas siklus hidup sidat.
Baca juga: BMKG Perkirakan Fenomena Bediding di Pulau Jawa Hingga September. Karena Ini!
Larva kemudian berubah menjadi sidat kaca atau glass eel selama perjalanan dari laut dalam menuju estuari atau muara sungai.
Permintaan pasar, penangkapan glass eel liar, perubahan lingkungan muara, dan pola migrasi yang terganggu, serta perubahan pola musim panen mengakibatkan kertersediaan pasokan menjadi tidak stabil dan menjadikan harga di pasaran tidak menentu, ini merupakan masalah yang pelik di Indonesia.
Untuk menjaga kelestarian sumber daya dan memastikan pemanfaatan berkelanjutan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengambil kebijakan yang mencakup kuota penangkapan glass eel dibatasi dnegan ukuran minimal ekspor sidat sebesar 150 gram per ekor.
Regulasi ini bertujuan mengurangi eksploitasi populasi liar dan mendorong peningkatan nilai tambah melalui pembesaran di dalam negeri.
(kompas.com, brin.go.id)













