Media Utama Terpercaya

5 Agustus 2025, 21:52
Search

LMKN Tegaskan Memutar Suara Burung, Alam atau Instrumental di Restoran Tetap Wajib Bayar Royalti!

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram
Print
Cafe memutar musik alam dan burung tetap kena royalti
Memutar suara burung, alam atau instrumental di restoran tetap wajib bayar royalti [Foto: AI/ mu4.co.id]

Jakarta, mu4.co.id – Kasus hukum yang menimpa jaringan restoran Mie Gacoan di Bali terkait dugaan pelanggaran hak cipta atas penggunaan musik berdampak luas di kalangan pengusaha kafe dan restoran. Banyak dari mereka kini merasa waswas dan mulai mengambil langkah berhati-hati, seperti mengganti musik yang biasa diputar di tempat usaha mereka dengan lagu-lagu internasional, musik instrumental, suara alam, atau bahkan memilih untuk tidak memutar musik sama sekali.

Namun, menurut Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, semua bentuk musik yang digunakan di ruang komersial tetap termasuk dalam kategori karya cipta yang dilindungi hukum. Artinya, penggunaannya tetap wajib disertai pembayaran royalti, meski itu hanya musik tanpa lirik atau sekadar suara alam.

“Yang harus dipahami, musik meskipun tanpa lirik atau hanya instrumental tetap merupakan karya cipta. Bukan hanya penyanyi yang memiliki hak, tapi juga pencipta lagu dan produser rekamannya,” ujar Dharma dilansir dari Republika, Selasa (5/8).

Baca juga: Putar Lagu Tanpa Izin, Pemilik RM Mie Gacoan Bali Dituntut Bayar Royalti!

Ia juga menjelaskan bahwa suara-suara seperti kicauan burung, gemericik air, atau rekaman suara alam lainnya yang diputar di ruang usaha juga tidak bebas dari ketentuan hak cipta. Jika suara itu merupakan hasil rekaman yang diproduksi dan didistribusikan, maka produser atau pemilik rekamannya tetap berhak atas kompensasi ketika karyanya digunakan secara komersial.

“Jadi bukan soal jenis lagunya, apakah lagu Barat, lagu lokal, atau bahkan suara burung. Selama itu diputar untuk menunjang usaha, apalagi dalam bentuk rekaman, ada hak yang melekat dan harus dihormati,” tambah Dharma.

Menanggapi kekhawatiran para pelaku usaha, Dharma menegaskan bahwa royalti bukanlah beban atau pungutan yang menakutkan. Menurutnya, membayar royalti adalah bagian dari ekosistem ekonomi kreatif yang sehat dan adil. Ia menyebut, dengan membayar royalti, pelaku usaha turut mendukung kelangsungan hidup para musisi, pencipta lagu, dan seluruh pihak di balik produksi musik.

“Bayar royalti itu bukan hal yang menakutkan. Justru itu bentuk peradaban yang baik. Kita sedang membangun budaya menghargai karya dan memberi nilai pada kreativitas bangsa,” ujarnya.

Baca juga: Putar Musik di Ruang Komersial? Kini Wajib Bayar Royalti!

Dalam hal teknis, Dharma menjelaskan bahwa perhitungan royalti bagi kafe, restoran, dan tempat usaha serupa tidak didasarkan pada jumlah lagu yang diputar. Sistem yang digunakan LMKN adalah berbasis jumlah kursi yang tersedia di tempat usaha. Tarif yang berlaku saat ini adalah sebesar Rp120.000 per kursi per tahun, dengan asumsi tingkat keterisian maksimal sebesar 60 persen.

“Jadi bukan dihitung per lagu. Satu kursi itu Rp120 ribu per tahun. Dengan itu, mereka boleh memutar jutaan lagu secara legal,” jelasnya.

Untuk pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM), LMKN telah menyediakan skema keringanan, termasuk asumsi hari operasi yang tidak penuh selama setahun. Kebijakan ini, kata Dharma, dibuat agar tetap terjangkau bagi semua kalangan usaha.

“Kami sadar UMKM punya keterbatasan, maka kami buat perhitungannya lebih ringan. Mereka tidak dihitung beroperasi selama 365 hari penuh. Tarif ini sebenarnya sudah sangat rendah,” tegasnya.

[post-views]
Selaras