Media Berkemajuan

22 November 2024, 12:08

Khutbah Idul Adha 1444 H, Ustaz H. Muhammad Azhar Fithri (di Lapangan RTH Kamboja Banjarmasin)

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram
Print
“Berbaik Sangka Kepada Allah”

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha Illallah, Allahu Akbar

Allahu Akbar, Wa Lillaahil Hamd

Jamaah Shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah…

Di pagi yang penuh berkah ini, di balik hati yang cerah ceria, kita kembali mengumandangkan takbir berulang-ulang, sebagai pernyataan yang tulus dan ikhlas akan kebesaran dan keagungan Allah subhanahu wa ta’ala. Sekaligus sebagai pengakuan bahwa kita adalah hamba yang teramat kecil, sangat lemah dan penuh keterbatasan. Kita memuja dan memuji kepada-Nya sebagai wujud kesyukuran atas segala  limpahan nikmat dan rahmat-Nya yang tak terhingga.

Alhamdulillah, kita kembali merasakan kegembiraan dan kebahagiaan dalam suasana Idul Adha pada hari ini. Bukan untuk berpesta pora, tetapi untuk melakukan instrospeksi diri dan mengambil pelajaran dari   peristiwa bersejarah yang dilakoni oleh Nabiyullah Ibrahim ’alaihissalam bersama isterinya; Hajar dan anaknya Ismail ’alaihissalam. Kehidupan Nabi Ibrahim benar-benar memiliki keteladanan yang patut diikuti, untuk mendapatkan kehidupan yang bersih dan penuh dengan makna.

Artinya: “Sungguh telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya”. QS. Al-Mumtahanah (60): 4.

Allahu  Akbar,  Allahu  Akbar,  Laa  Ilaaha  Illallah,  Allahu Akbar

Allahu Akbar, Wa Lillaahil Hamd

Jamaah shalat Idul Adha ‘azzakumullah...

Paling tidak, ada satu pelajaran yang bisa dipetik dari kisah nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan keluarganya

Yaitu Senantiasa Berbaik sangka kepada Allah ta’ala

Dikisahkan dalam riwayat yang shahihul Bukhori dari Sahabat Abbdullah Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, bahwa Ibrahim ‘alaihissalam terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba beliau memerintahkan istrinya, Hajar, untuk mempersiapkan perjalanan dengan membawa bayinya. Maka Hajar segera berkemas untuk melakukan perjalanan panjang. Padahal saat itu nabi Ismail masih bayi, masih menyusu dan belum disapih.

Berangkatlah Ibrahim ‘alaihissalam bersama keluarganya menyusuri bumi yang penuh dengan pepohonan dan rerumputan, sampai akhirnya tiba di padang sahara. Beliau terus berjalan hingga mencapai pegunungan, kemudian masuk ke daerah jazirah Arab. Ibrahim  menuju ke sebuah lembah yang tidak ditumbuhi tanaman, tidak ada buah-buahan, tidak ada pepohonan, tidak ada makanan dan tidak ada minuman. Kondisi yang menandakan bahwa tempat itu tidak ada kehidupan di dalamnya.

Di lembah tersebut beliau turun dari punggung hewan tunggangannya, kemudian menurunkan istri dan anaknya. Setelah itu tanpa berkata-kata beliau meninggalkan istri dan anaknya di sana. Mereka berdua hanya dibekali sekantung makanan dan sedikit air yang hanya cukup untuk sehari dua hari. Setelah melihat kiri dan kanan beliau melangkah berbalik meninggalkan mereka ditempat tersebut.

Tentu sang istri, Hajar terperangah diperlakukan demikian. Dia membuntuti suaminya dari belakang sembari bertanya,

“Ibrahim, hendak pergi kemana engkau? Apakah engkau akan meninggalkan kami tanpa teman di lembah yang tidak ada sesuatu apapun ini?”.

Ibrahim tidak menjawab pertanyaan istrinya. Beliau terus saja berjalan. Hajar kembali mengulangi pertanyaannya, tetapi Ibrahim tetap membisu. Akhirnya Hajar pun paham bahwa suaminya pergi bukan karena kemauannya sendiri. Maka kemudian dia pun bertanya,

“Apakah    Allah    yang    memerintahkanmu    untuk    pergi meninggalkan kami?”

Ibrahim menjawab, “Benar“.

Kemudian istri yang shalihah dan beriman itu berkata, ”Jika demikian pasti Allah tidak akan menterlantarkan kami”.

Allahu  Akbar,  Allahu  Akbar,  Laa  Ilaaha  Illallah,  Allahu Akbar

Allahu Akbar, Wa Lillaahil Hamd

Jamaah Shalat Idul Adha rahimakumullah.

Ucapan yang sangat indah dari Hajar, yang pastinya ucapan tersebut terlahir dari keimanan yang kuat kepada Allah. Lihatlah, bagaimana Hajar mampu berprasangka baik kepada Allah jalla wa ‘ala. Ia amat yakin bahwa selagi bersama Allah, maka Ia dan anaknya tidak mungkin terlantar, tidak akan ada yang dapat mencelakai ataupun melukai mereka.

Bila kita lihat banyaknya manusia yang  frustasi dalam kehidupan ini atau banyaknya manusia merasa sengsara, ternyata bukan karena sedikitnya nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Akan tetapi karena sedikitnya husnudzon (berbaik sangka) kepada kebaikan Allah. Padahal nikmat yang Allah berikan jauh lebih banyak dari ujian dan siksa-Nya. Oleh karena itu kita wajib berbaik sangka kepada Allah, karena Allah menjelaskan dalam sebuah hadits qudsi, bahwa Dia sesuai prasangka hamba-Nya kepada-Nya.

Dari   Abu   Hurairah   radhiyallahu’anhu   berkata,   bahwa:

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, Allah berfirman, “Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku kepada- Ku, dan Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam jiwanya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku di keramaian orang, niscaya Aku akan mengingat-Nya di hadapan sekumpulan makhluk yang lebih mulia dari mereka. Andaikan ia mendekat kepada-ku setapak, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan menghampirinya dengan berlari”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Manusia wajib berbaik sangka kepada Allah apa pun keadaannya. Karena Allah akan menyikapi hamba-Nya sesuai prasangka tersebut. Jika hamba itu berprasangka baik, maka Allah akan memberikan keputusan yang baik untuknya. Namun bila hamba itu berburuk sangka, maka berarti ia telah menghendaki keputusan yang buruk dari Allah untuknya. Allah tidak akan menyia-nyiakan harapan hamba-Nya yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya.

Seorang hamba yang bijak adalah yang senantiasa berbaik sangka kepada Allah dalam setiap keadaan. Jika ia diberi kenikmatan, ia merasa bahwa hal ini adalah karunia dari Allah. Ia tidak   besar kepala dengan kenikmatan duniawi tersebut. Sebaliknya bila ia didera dengan penderitaan atau kekurangan, maka ia merasa bahwa Allah sedang  mengujinya agar dapat meraih tempat yang mulia. Ia tidak berburuk sangka dengan menganggap Allah tidak adil atau Allah telah menghinakannya.

Kita harus belajar dari Hajar. Seorang wanita yang baru mempunyai anak bayi, kemudian ditinggalkan suaminya di padang pasir yang gersang. Tetapi dia yakin jika ini adalah perintah Allah, maka Allah tidak akan menterlantarkannya. Allah pasti akan membantunya. Kisah ini bukan hanya untuk Hajar saja, dan kisah ini juga bukan untuk zaman itu saja. Namun kisah ini akan terus berulang pada setiap zaman dan masa. Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menyia-nyiakan hamba- Nya yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya dalam segala kondisi.

Yakinlah bahwa orang-orang yang tekun beribadah kepada Allah, berakidah benar, menegakkan shalat, berpuasa, menunaikan zakat serta senantiasa BERBAIK SANGKA PADANYA, pasti mereka tidak akan pernah diterlantarkan oleh Allah ta’ala…

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberikan kita taufiq dan inayah agar kita mampu bebaik sangka pada Allah dalam setiap kondisi dan situasi.

[post-views]
Selaras