Jakarta, mu4.co.id – Dalam Islam, status anak diatur secara tegas untuk menjaga kemuliaan keluarga, tanggung jawab orang tua dan menghindari terjadinya kerancuan hukum.
Menurut ajaran Islam, menjaga keturunan atau nasab juga salah satu tujuan utama dari syariat pernikahan yang sah, agar nasab dapat dijaga kemurniannya sehingga memberikan kehormatan dan perlindungan bagi setiap individu, seperti firman Allah dalam QS. Al-Furqan ayat 54:
وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ مِنَ الْمَاۤءِ بَشَرًا فَجَعَلَهٗ نَسَبًا وَّصِهْرًاۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيْرًا
Artinya: “Dialah (pula) yang menciptakan manusia dari air (mani). Lalu, Dia menjadikannya (manusia itu mempunyai) keturunan dan muṣāharah (persemendaan). Tuhanmu adalah Mahakuasa.”
Namun, pertanyaannya bagaimana status dalam kasus zina menurut Islam?
Mengutip dari penelitian Sabilal Rasyad yang berjudul Status Hukum Anak di Luar Perkawinan dalam Hukum Islam dan Implementasinya dalam Perkembangan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dalam Jurnal Hukum Islam Vol. 15 No. 1 edisi Juni 2017, berdasarkan hukum Islam, nasab atau status anak kepada ibunya diakui melalui kehamilan, baik itu terjadi dalam pernikahan yang sah maupun melalui perzinahan.
Sementara itu, pengakuan nasab atau status kepada ayahnya hanya terjadi dalam 3 kondisi yakni, pernikahan yang sah, pernikahan fasid (tidak sah karena cacat syarat atau rukun), dan senggama syubhat, di luar itu, nasab atau status anak kepada ayah biologisnya tidak dapat diakui.
Baca juga: Bagaimana Hukum Menerima Politik Uang Menurut Pandangan Islam?
Para ulama sepakat bahwa perzinaan bukanlah dasar untuk menetapkan hubungan nasab antara anak dengan ayah biologisnya. Dan dalam Islam, nasab adalah karunia dan nikmat dari Allah SWT, sedangkan perzinaan adalah dosa besar yang justru mendatangkan hukuman, seperti rajam atau cambuk seratus kali. Seperti Hadits Rasulullah SAW, “Anak itu bagi yang meniduri istri (secara sah) yaitu suami, sedangkan bagi pezina ia hanya berhak mendapatkan batu”. (HR. Muslim).
Berdasarkan hadits tersebut, para ulama dari berbagai mazhab menyepakati bahwa nasab atau status anak hasil zina menurut Islam maka tidak memberikan hak untuk membentuk hubungan nasab. Hal serupa juga ditegaskan dalam Pasal 100 buku I Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwasanya, “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Dengan demikian, nasab atau status anak hasil zina menurut Islam tidak terhubung dengan ayah biologisnya. Anak hanya memiliki nasab dengan ibunya.
Sementara itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah menetapkan fatwa (hukum) berkaitan dengan status anak hasil zina menurut Islam yang diatur dalam fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya. Berikut isinya:
- Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
- Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
- Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.
- Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
- Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman (ta’zir) kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anakdenganmewajibkannya untuk:
– Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut
– Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
(detik.com)