Banjarmasin, mu4.co.id – Di saat suasana pilkada, praktik politik uang (risywah) atau pemberian dalam bentuk apa pun dengan tujuan untuk memengaruhi pemilih agar memilih atau tidak memilih calon tertentu menjadi hal yang sering dijumpai.
Lantas bagaimana hukum menerima politik uang dalam pandangan Islam?
Dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, dalam hukum Islam, risywah dilarang keras dan termasuk dalam kategori dosa besar. Praktik suap ini merusak tatanan sosial, melanggar keadilan, dan menyimpang dari maqasid syariah, yaitu tujuan-tujuan utama syariat Islam.
Dalil-dalil yang mengharamkan risywah sangat jelas, salah satunya adalah firman Allah ﷻ dalam surah al-Baqarah ayat 188:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Baca juga: Sebelum Nyoblos! Cari Tahu Visi Misi Paslon Gubernur Kalimantan Selatan di Pilkada 2024
Ayat di atas tegas melarang segala bentuk pengambilalihan harta secara tidak sah, termasuk praktik suap, yang berujung pada pelanggaran hukum dan ketidakadilan. Sejalan dengan ini, Rasulullah ﷺ juga melaknat para pelaku suap, sebagaimana disebutkan dalam hadis: “Allah melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR. Abū Dāwūd dan al-Ḥākim).
Laknat ini menunjukkan pengharaman yang tegas, dan hukumnya tetap berlaku meski suap diistilahkan dengan berbagai nama seperti hibah, sumbangan, atau hadiah. Bahkan, nominal suap yang kecil sekalipun tidak membebaskan pelakunya dari dosa.
Praktik politik uang juga memiliki dampak jangka panjang yang merusak moral dan mentalitas masyarakat. Fenomena ini membuat masyarakat menjadi apatis dan cenderung memprioritaskan keuntungan materi ketimbang nilai-nilai kebenaran.
Baca juga: Tinggal 2 Hari Lagi, Sudahkah Tentukan Pilihan Anda di Pilkada Kota Banjarmasin 2024?
Dari sudut pandang maqasid syariah, politik uang juga sangat bertentangan dengan kelima tujuan utama syariat:
Pertama, hifzh ad-din (menjaga agama). Politik uang mencemarkan nilai-nilai agama yang mengutamakan kejujuran dan integritas.
Kedua, hifzh an-nafs (menjaga jiwa). Dampak buruk politik uang merusak mentalitas masyarakat, menjadikan mereka lebih materialistis dan kehilangan rasa tanggung jawab.
Ketiga, hifzh al-‘aql (menjaga akal). Salah satu fungsi utama akal manusia adalah membedakan mana yang benar dan salah. Namun, politik uang membuat masyarakat kehilangan daya kritis dan kejujuran.
Keempat, hifzh an-nasl (menjaga keturunan). Budaya politik uang yang terstruktur akan diwarisi oleh generasi berikutnya, memperburuk kerusakan sosial dalam jangka panjang.
Terakhir, hifzh al-mal (menjaga harta). Praktik politik uang berarti menghambur-hamburkan harta untuk tujuan yang tidak diridai oleh Allah ﷻ, baik bagi pemberi maupun penerima suap. Harta yang diperoleh melalui cara batil ini mengundang murka dan laknat Allah ﷻ.
Kesimpulannya, politik uang bertentangan dengan prinsip-prinsip maqasid syariah yang mengutamakan kebaikan umat dalam berbagai aspek kehidupan. Larangan syariah atas risywah tidak semata-mata berfokus pada aspek hukum, melainkan juga mempertimbangkan dampak sosial, moral, dan spiritual yang lebih luas.