Banjarmasin, mu4.co.id – Istilah tarwiyah berasal dari kata tarawwa [arab: تَرَوَّى] yang artinya membawa bekal air. Karena pada hari itu, dahulu para jemaah haji membawa banyak bekal air zam-zam untuk persiapan Arafah dan menuju Mina. Mereka minum, memberi minum ontanya, dan membawanya dalam wadah.
Di tanggal 8 Dzulhijjah ini biasanya sebagian orang mengerjakan puasa Tarwiyah dengan berpegang pada hadits yang berbunyi:
مَنْ صَامَ الْعَشْرَ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَوْمُ شَهْرٍ ، وَلَهُ بِصَوْمِ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ سَنَةٌ ، وَلَهُ بِصَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ سَنَتَانِ
”Siapa yang puasa 10 hari, maka untuk setiap harinya seperti puasa sebulan. Dan untuk puasa pada hari tarwiyah seperti puasa setahun, sedangkan untuk puasa hari arafah, seperti puasa dua tahun.”
Hadits tersebut tercantum dalam kitab Kanzul Ummal diriwayatkan Abusy Syaikh Al-Ashbahâny, dari jalur beliau diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah dalam Fadhlu Yaum At-Tarwiyyah wa ‘Arafah no.2, Jami’ oleh Imam Suyuthi, diriwayatkan Ibnu Hibban dalam kitab Al-Tsawab. Juga diriwayatkan oleh: Abul Qâsim Al-Ashbahâny dalam At-Targhîb wa At-Tarhîb no. 370, Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhû’ât 2/565 no.1137, dan diriwayatkan oleh Nashirudin al-Bani dalam Irwâ’ul Ghalîl 4/113- dan selainnya, semuanya dari jalur Ali bin Ali Al-Himyary dari Muhammad bin As-Sâ’ib Al-Kalby dari Abu Shâlih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhu secara marfu’.
Hadis lainnya berasal dari jalur Ali al-Muhairi dari at-Thibbi, dari Abu Sholeh, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, secara marfu’.
Lantas bagaimana derajat hadits puasa Tarwiyah tersebut?
Para ulama menegaskan bahwa hadis ini adalah hadis dhaif (lemah), bahkan maudlu’ (palsu). Ibnul Jauzi (wafat 597 H) dalam Al Mawdhu’at, 2/565 mengatakan,
وهذا حديث لا يصح . قَالَ سُلَيْمَان التَّيْمِيّ : الطبي كذاب . وَقَالَ ابْن حِبَّانَ : وضوح الكذب فِيهِ أظهر من أن يحتاج إِلَى وصفه
Hadis ini tidak shahih. Sulaiman at-Taimi mengatakan, ’at-Thibbi seorang pendusta.’ Ibnu Hibban menilai, ’at-Thibbi jelas-jelas pendusta. Sangat jelas sehingga tidak perlu dijelaskan.’ (al-Mawdhu’at, 2/198).
Keterangan serupa juga disampaikan as-Syaukani (wafat 1255 H) dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah, hal. 96. Terkait status hadis ini, beliau mengatakan,
رواه ابن عدي عن عائشة مرفوعاً ولا يصح وفي إسناده : الكلبي كذاب
Hadis ini disebutkan oleh Ibn Adi dari A’isyah secara marfu’. Hadis ini tidak shahih, dalam sanadnya terdapat perawi bernama al-Kalbi, seorang pendusta. (al-Fawa-id al-Majmu’ah, 1/45).
Syaikh Al Albani juga dalam Irwa’ul Gholil no. 956 menegaskan bahwa hadits ini dho’if
Ada beberapa riwayat lain yang semakna dengan hadits di atas dari beberapa Sahabat Nabi:
1. Hadits Jâbir yang diriwayatkan oleh An-Najjar dalam Târîkh-nya sebagaimana dalam Kanzul ‘Ummâl dan selainnya. Dalam sanad tersebut, terdapat seorang rawi pendusta dan pemalsu hadits, sebagaimana keterangan Al-Mu’allimy dalam ta’lîq beliau terhadap kitab Al-Fawâ’id Al-Majmû’ah.
2. Hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Ibnu Jauzy dalam Al-Maudhu’at no. 1136. Ibnul Jauzy menyebutkan bahwa Muhammad Al-Muhrim, yang ada dalam sanad hadits ini, adalah manusia yang paling pendusta.
Keterangan di atas, cukup bagi kita untuk menyimpulkan bahwa hadis tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk mengerjakan suatu ibadah khusus.
Bolehkah berpuasa di tanggal 8 Dzulhijjah?
Kalaupun tetap mau berpuasa di tanggal 8 Dzulhijjah, masih bisa asalkan bukan meyakini puasa tersebut dikerjakan berdasarkan lafaz hadits di atas untuk meraih ganjaran pahalanya. Tetapi berpuasa karena mengingat keutamaan memperbanyak amal ibadah di awal Dzulhijjah.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim).
(Konsultasi Syariah)