Jakarta, mu4.co.id – Sebanyak 160 guru Sekolah Rakyat di Indonesia mengundurkan diri karena lokasi penempatan mengajar terlalu jauh dari tempat tinggal mereka.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menyebut pemerintah telah menyiapkan solusi dengan menyediakan guru cadangan. Ia menambahkan, masih ada sekitar 50 ribu guru yang sedang menunggu penempatan dan tengah mengikuti pendidikan profesi.
“Ada banyak guru yang siap menggantikan, karena ada lebih dari 50 ribu guru yang mengikuti proses pendidikan profesi guru belum ada penempatan,” ungkap Gus Ipul dikutip dari Tempo, Rabu (30/7).
Yanuar Nugroho, pengamat kebijakan publik dan pendiri Nalar Institute, menilai mundurnya ratusan guru Sekolah Rakyat menunjukkan kegagalan desain kebijakan penempatan. Ia menilai sistem penempatan yang diatur Badan Kepegawaian Negara terlalu sentralistik.
Baca Juga: Guru Sekolah Rakyat Akan Diangkat Jadi Pegawai Kemensos
“Kebijakan penempatan itu juga mengabaikan realitas sosial-geografis,” ujarnya.
Penempatan guru Sekolah Rakyat dinilai bermasalah karena dilakukan tanpa mempertimbangkan domisili, mobilitas, dan aspirasi guru. Hal ini memicu ketidaksesuaian antara kebutuhan pendidikan di daerah dan kesiapan guru.
Ia menilai kebijakan penempatan seharusnya melibatkan partisipasi guru dan pemerintah daerah, bukan hanya diputuskan secara sentralistik.
Yanuar juga mengkritik respons pemerintah yang hanya menyiapkan guru cadangan pengganti, karena menunjukkan cara pandang yang sempit dan teknokratis.
Menurutnya, relasi sosial antara guru dan komunitas jauh lebih penting daripada sekadar pemenuhan suplai tenaga pengajar. Ia mendorong perbaikan menyeluruh pada kebijakan penempatan guru.
Baca Juga: Sekolah Rakyat Akan Pakai Kurikulum “Tailor Made”. Seperti Apa?
“Tanpa koreksi serius dan perubahan cara pandang terhadap guru, Sekolah Rakyat hanya akan jadi proyek di atas kertas yang kehilangan makna,” tegasnya.
Kritik serupa datang dari Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji. Ia menilai pemerintah mengabaikan akar masalah kebijakan penempatan guru.
“Pemerintah seolah menutup mata terhadap fakta bahwa penempatan guru yang jauh adalah gejala dari masalah yang lebih besar,” katanya.
Ubaid menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah daerah serta konsultasi dengan guru dalam proses penempatan agar tercipta rasa kepemilikan dan komitmen terhadap program. Ia khawatir Sekolah Rakyat hanya menjadi proyek coba-coba yang justru merugikan siswa miskin.
(Tempo)